Kamis, 09 Juli 2009

Diklat

Hand Out

KEPALA SEKOLAH SEBAGAI PENDIDIK


Disajikan dalam rangka Diklat Cakep
1 - 6 Desember 2006
Di Hotel Wijaya Jombang




















Oleh :
Nurali, S.Pd., M.Si
Pengawas Satuan Pendidikan
Kab Jombang





PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG
DINAS PENDIDIKAN
Jalan Patimura Nomor 5 telp 861827





Kepala Sekolah Sebagai Pendidik[1]
Oleh : Nurali, S.Pd., M.Si.
Pengawas Satuan Pendidikan
Kabupaten Jombang

Pokok Materi :
Ruang Lingkup Tugas dan Kemampuan yang harus dimiliki Kepala Sekolah :
Prestasi Sebai Guru
Kemampuan membimbing guru
Kemampuan membimbing karyawan
Kemampuan membimbing siswa
Kemampuan membimbing staff
Kemampuan mengikuti perkembangan IPTEK
Kemampuan memberikan contoh mengajar

Uraian Materi
Selayang Pandang
Era otonomi daerah membawa perubahan besar dalam penyelenggaraan pendidikan. Para penyelenggara sekolah mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi dituntut mengaktualisasikan kiemampuan dirinya untuk tetap survive dalam menghadapi tantangan global di dunia pendidikan. Betapa tidak, era otonomi daerah telah membagunkannya dari tidur nyenyak dan mimpi gemerlap kemampanan keadaan. Betapa tidak! Jauh sebelum otonomi digulirkan para penyelenggara sekolah khususnya Kepala Sekolah tidak usah bersibuk ria mengelola sekolah dengan seribu macam kegiatan Semua kegiatan telah digulirkan terstruktur dari pusat hingga daerah. Kini masa-masa itu telah berlalu. Semua perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi berpulang pada sosok Kepala Skeolah sebagai penaggungjawab kegaiatan belajar mengajar di Sekolah.
Senada dengan era yang menyertai, paradigma kemapanan yang terproteksi harus berubah menjadi kemapanan karena kemandirian. Kepamapanan karena jatidiri sebagai sosok pengelola sekolah yang berdaya, progresif menyongsong hari depan dengan semangat meningkatkan martabat bangsa melalui pendidikan. Tanpa penemuan kembali, jatidiri yang telah lama tenggelam akan hilang selamanya. Ibarat peperangan, genderang telah ditabuh, saatnya bangkit menyongsong tantangan, merubah paradigma ketergantungan menjadi kemandirian. Meraih impian menjadi kenyataan dengan pemberdayaan segenap komponen Sekolah.
Oleh karenanya, model perilaku kepala sekolah yang sering berguman dalam diam, ’Sekolah adalah aku’ harus dieleminir. Permasalahan tidak lagi harus dihindarkan tetapi dimanage untuk dijadikan kekuatan, instruksi harus berubah menjadi koordinasi. Out put kegiatan bukanlah ending dari setiap kegiatan bila prosesnya tidak dilalui secara alamiah dan cerdas. Sekolah adalah komunitas kehidupan yang memiliki visi dan misi yang sama dalam mencerdaskan anak bangsa di bawah kepemimpinan Kepala Sekolah. Dan yang pertama harus dilakukan Kepala Sekolah tentunya adalah menjadi pendidik yang baik, baik bagi anak didiknya, bagi pendidiknya dan bagi dirinya sendiri.

Kepala Sekolah adalah Pendidik
Di antara berbagai kesibukan yang harus dilakukan, ada satu yang tidak bisa ditinggalkan. Karena tugas tersebut terimplikasi ke dalam semua tugas pokok dan fungsi Kepala Sekolah. Tugas tersebut adalah Kepala Sekolah sebagai pendidik. Tugas Kepala Sekolah sebagai pendidik memiliki representasi sebagai berikut: 1) Prestasi Sebagai Guru, 2) Kemampuan membimbing guru, 3) Kemampuan membimbing karyawan, 4) Kemampuan membimbing siswa, 5) Kemampuan membimbing staff, 6) Kemampuan mengikuti perkembangan IPTEK, dan 7) Kemampuan memberikan contoh mengajar.
1. Prestasi Sebagai Guru
Prestasi sebagai guru dimaknai bahwa Kepala Sekolah merupakan seorang guru. Pemahamannya guru yang telah melaksanakan tugasnya baik secara administratif maupun secara substansial yang bisa ditiru dan diteladani oleh pendidik di skeolahnya. Melalui tampilan sosok guru yang bisa diteladani karena pekerjaan yang telah dilaksanakan itulah selanjutnya Kepala Sekolah disebut sebagai pengejwantahan guru yang berprestasi.
Pemaknaan pestasi sebagai guru tidak serta merta harus dibuktikan dengan segudang prestasi muridnya, atau penghargaan karena berbagai even lomba atas kecakapannya. Melainkan prestasi yang diyakini oleh lingkungan sekitar sekolah karena dedikasi dan loyalitasnya terhadap tugas. Betapa mengagumkan bila seorang Kepala Sekolah harus datang pagi pagi ke sekolah karena memberikan tambahan pelajaran, dan keberangkatan tersebut disaksikan para orang tua yang secara bersamaan juga berangkat ke sawah, atau malam-malam mengadakan home visit kepada orang tua murid saat orang tua lainnya sudah menjelang lelap. Hal inilah yang sebenarnya disebut sebagai prestasi yang tercatat di hati para orang tua.
Secara sederhana, prestasi kepala sekolah sebagai guru dapat dimaknai sebagai Kepala Sekolah yang tetap melaksanakan pekerjaan guru, sesuai peraturan dan perundang-undangan yang ada. Kepala Skeolah harus memiliki jadwal mengajar yang pasti, menyusun Promes, Silabus, RPP, menilai, mnganalisis, melakukan perbaikan, dan melakukan pengayaan sesuai dengan Mata Pelajaran yang diampunya. Kepala Sekolah sebagai pendidikpun pada saatnya diharapkan untuk mau dan mampu memberikan bimbingan kepada siswa yang bermasalah.

2. Kemampuan Membimbing Guru
Kemampuan membimbing guru diartikan mampu memahami permasalahan yang dihadapi guru dalam proses belajar mengajar serta memberikan pemecahan atas masalah yang dihadapi guru. Kemampuan membimbing guru ini sangat diprlukan, mengingat setiap manusia memiliki titik lemah. Meskipun di sisi laion memiliki sejumlah kelebihan. Pada titik yang lemah inilah diharapkan Kepala sekolah mampu memberikan pencerahan sehingga kelemahan yang ada dapat ditutup.
Guru yang memiliki masa kerja panjang dengan tugas pada suatu kelas secara terus menerus mungkin sudah sangat paham dengan materi yang akan diajarkan. Namun demikian tidak menutup kemungkinan bagi guru-guru baru, guru-guru yang melaksanakan tugas secara berkelanjutan bergiliran mengikuti kelas yang dibinanya, guru-guru yang baru diangkat atau tenaga sukarelawan, memerlukan pertimbangan-pertimbangan dalam memberikan materi pelajaran. Mata Pelajaran PKn misalnya, setiap saat mengalami perubahan, bahkan dapat dikatakan setiap lima tahun pasti mengalami perubahan.
Di kelas enam terdapat kompetensi dasar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara sesuai dengan UUD 45 yang diamandemen. Salah satu di antaranya adalah Mahkamah Konstitusi dengan tugas, wewenang dan kewajibannya. Materi tersebut perlu pemahaman secara intensip karena menyebut tugas MK sebagai pemutus akhir perkara, harus diawali dengan persidangan persidangan sebelumnya secara berjenjang. Nah, dalam porsi tersebut apakah perlu dijelaskan secara mendetail rentetan perkara mulai sidang awal dan selanjutnya, atau hanya disebutkan tugas dan wewenangnya saja tanpa menyebut urutan. Sementara untuk urutan dibiarkan hingga anak masuk pada jenjang yang lebih tinggi sehingga mengetahui dengan sendirinya.
Di kelas enam untuk mata pelajaran IPA juga terdapat ciri-ciri masa remaja yang diantaranya menstruasi. Sejauh mana materi ini ruang lingkupnya diberikan kepada anak. Apakah perlu pemisahan antara anak laki-laki dengan anak perempuan dalam pelaksanaan KBM nya. Hal inilah yang sangat memerlukan pertimbangan guru guru senior, di antaranya adalah Kepala Sekolah.
Kemampuan Kepala Sekolah dalam membimbing guru ini tentunya dapat dilaksanakan dengan baik apabila Kepala Sekolah juga melaksanakan tugasnya sebagai guru. Tanpa melaksanakan tugas sebagai guru, maka bila hendak membimbing guru tentu bagaikan pepatah jauh panggang dari api. Hal ini bisa dilihat dari fenomena yang ada di sekeliling kita, mungkin masih banyak Kepala Sekolah yang hanya mengajar bila ada guru yang berhalangan hadir, amatilah bagaimana cara mengajarnya, cara berbicara di depan anak didik. Tentu akan berbeda dengan Kepala Sekolah yang melaksanakan tugas mengajar secara rutin. Kerangka kemampuan ketika melaksanakan tugas mengajar inilah yang nantinya juga menjadi frame dalam membimbing guru.
Kemampuan-kemampuan yang diperlukan dalam membimbing guru meliputi sejumlah tugas yang dilaksanakan oleh guru, seperti menyusun promes, silabus RPP. Penilaian, analisis dan seterusnya. Bagaimana mungkin Kepala Sekolah mampu menyusun Promes bila dia sendiri tidak pernah menyusun promes? Bagaimana Kepala Skeolah mampu membimbing menyusun Silabus dan RPP bila selama ini belum pernah melakukan penyusunan Silabus dan RPP. Kiranya beberapa hal tersebut dapat dijadikan cermin bila hendak melaksanakn tugas dalam membimbing guru.


3. Kemampuan Membimbing Karyawan
Sekolah tentu memiliki karyawan, apapun bentuknya dan berapa pun jumlahnya. Sekurang-kurangnya ada penjaga di sekolah. Penjaga inilah satu-satunya karyawan yang harus dibimbing dalam melaksanakan tugasnya. Meskipun dalam struktur organisasi sekolah berada pada tataran yang paling rendah, ia adalah manusia, punya harkat dan martabat, ingin dimanusiakan juga. Dan merupakan rangkaian dari suatu sistem dari tata laksana sekolah.
Sebagai bagian dari sebuah sistem dia adalah komponen yang ikut bersama-sama membangun kelangsungan sekolah. Pernahkah anda bayangkan seorang penjaga yang memboikot pelaksanaan sekolah, kemudian dia mengunci sekolah sehari saja, apa yang terjadi? Bukankah kelangsungan proses belajar mengajar akan terganggu, meskipun para penjaga kita tidak pernah sekalipun memikirkan hal tersebut. Dari sinilah seharusnya para Kepala Sekolah harus memulai menata diri dalam membimbing karyawan.
Para penjaga sekolah kita lazimnya melaksanakan tugas membuka sekolah di pagi hari, menyapu halaman, serta menutupnya di siang hari. Melakukan pengamanan di malam hari, sereta beberapa kerusakan yang ada di sekolah sering diminta untuk membetulkannya. Sederhana sekali dan rasanya terlalu ringan untuk dipandang, sehingga kita hanya memandang sebelah mata akan peran dan fungsinya.
Tugas Kepala dalam membimbing karyawan adalah memderdayakan tenaga yang ada untuk dapat bekerja secara maksimal dalam rangka mencapai tujuan sekolah. Kepala Sekolah dapat memberdayakannya dengan memberikan rincian tugas pokok dan fungsi yang jelas, terukur dan proporsional. Rincian-rincian tugas pokok dan fungsinya tergantung kebutuhan penyelesaian pekerjaan yang ada. Dalam hal ini Kepala Sekolah dapat membagi wilayah pekerjaaan menurut waktu, misalnya apa yang harus dikerjakan setiap hari, mulai membuka pintu sekolah, membersihkan halaman, kamar mandi, ruang kelas, meminta catatan siswa yang tidak masuk dari tiap-tiap kelas, menutup pintu dan menguncinya, serta mengamankan di waktu malam. Pekerjaan yang harus dikerjakan setiap minggu misalnya mengkontrol bak sampah, rumput atau perdu yang ada di lingkungan sekolah, mengamati seluruh ruang kelas yang ada mulai dari bangku, gambar-gambar yang tidak bagus penataannya, papan tulis yang rusak, atap yang sudah mulai lapuk. Pekerjaan tiap bulan misalnya mengirim lapor bulan, membersihkan alat peraga yang ada, mengkontrol saluran air di sekolah, menkontrol seluruh lingkungan sekolah, atap sekolah yang masih dalam keadaan baik.
Pekerjaan tersebut tidak mutlak harus dilakukan penjaga, bisa juga ditambah tugas lain, atau bisa juga dikurangi. Sekali lagi prinsip proporsional harus tetap dilaksanakan. Bila karyawan memiliki skill lebih dari sekedar pekerjaan kasar tentunya dapat diberdayakan lagi. Sebab karyawan sekolah yang ada sebagian besar berusia muda, tentunya dapat meniti karier lebih tinggi bila memiliki ketrampilan dan kemampuan yang lebih. Dalam hal ini motivasi Kepala Sekolah menjadi salah satu jembatan untuk berkarya lebih baik lagi bagi karyawan sekolah.

4. Kemampuan membimbing siswa
Kemampuan membimbing siswa dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu membimbing siswa dalam Kegiatan Belajar Mengajar, Membimbing Siswa dalam bentuk tambahan pelajaran, dan membimbing siswa dalam bentuk ekstra kurikuler atau pengembangan diri. Membimbing siswa dalam kegiatan belajar difokuskan pada pembinaan anak yang bermasalah dalam pembelajaran sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya. Misalnya Kepala Sekolah mengampu mata pelajaran Matematika, masalah-masalah yang dihadapi anak dalam mata pelajaran Matematika harus dapat dibimbing dengan baik. Mulai penguasaan konsep, pemahaman dan aplikasinya harus dikuasai beanr oleh Kepala Sekolah. Kepala Sekolah dalam hal ini dapat juga memberikan bimbingan belajar secara pribadi pada jam-jam kosong kepada anak-anak yang benar benar belummenguasai konsep tertentu dalam mata pelajaran yang dibinakan.
Membimbing siswa dalam pemberian pelajaran tambahan merupakan pengayaan dari mata pelajaran yang diampu pada kegiatan belajar mengajar. Dalam hal tersebut tentunya memiliki perbedaan yang specifik dengan kegiatan pembelajaran biasa. Bila pembelajaran biasa Kepala Sekolah menyajikan konsep secara linier sesuai urutan KD dalam Standar Isi, dalam pemberian bimbingan pelajaran tambahan harus masuk pada wilayah kiat-kiat pengerjaan soal. Misalnya perkalian cepat, pembagian cepat, rumus-rumus alternatif yang mempermudah anak mengerjakan soal dan sebagainya.
Membimbing siswa dalam kegiatan pengembangan diiri ini memerlukan ketrampilan khusus. Kepala sekolah yang pernah ikut kursus mahir dasar Pramuka dapat menjadi pembina Pramuka, mungkin yang menguasai seni tari, seni musik, teater, atau memiliki ketrampilan membuat handicraft dapat dijuga diberikan kepada anak didiknya. Bimbingan yang bersifat umum kadang juga perlu n untuk dimiliki Kepala Sekolah, misalnya melatih Upacara Bendera, menjelang lomba puisi, menyanyi,melatih gerak jalan dan sebaginya. Mengapa Kepala Skeolah harus bisa melakukan, sebab secara nyata Kepala Sekolah memiliki waktu lebih banyak dibandingkan para guru.

5. Kemampuan membimbing staff
Pengertoan staff pada dasarnya tidak berbeda dengan karyawan. Pengertian Staff sering dibrikan kepada pekerja yang ada di kantor, sementara karyawan adalah mereka yang ada di lapangan. Sebenarnya secara umum masih dalam kategori yang sama yaitu karyawan. Hanya saja bila diberi istilah staff maka merujuk pada tata usaha sekolah.
Tata usaha merupakan salah satu tenaga yang dibutuhkan di Sekolah Dasar dan hal ini telah diatur dalam PP 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 35 tentang Standar Tenaga Kependidikan. Dikatakan disana bahwa Tenaga kependidikan pada SD/MI atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala sekolah/madrasah, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, dan tenaga kebersihan sekolah/madrasah (Pasal 35 Ayat 1 huruf b). Namun demikian, apakah dengan demikian sudah mutlak dapat dipenuhi, tentunya harus dilakukan analisis atas pekerjaan yang ada di sekolah. Bila sebuah Sekolah memiliki jumlah ruang kelas yang besar tentunya dapat diupayakan pemenuhannya, tetapi bila sebaliknya justru akan menimbulkan pemborosan dana dan tenaga.
Bila secara kebetulan sebuah Sekolah memiliki kelas yang besar minimal dua kali dari jumlah konvensional maka dapat diangkat tenaga dministrasi. Dalam hal tersebut Kepala Skeolah nharus mampu mengembangkannya agar dapat bekerja secara maksimal untuk mendukung keberhasilan pendidikan. Harus diingat bahwa semua komponen pekerja yang ada di sekolah harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemajuan sekolah. Tugas pokok dan fungsi semua komponen juga dalam rangka mendukung kemajuan sekolah. Hanya karena adanya sekolah maka mereka ada. Jadi bukan adanya tenaga yang membuat pengadaan sebuah sekolah.
Pembimbingan terhadap staff dapat dilakukan mulai dari inventarisasi pekerjaan yang ada, kemudian menyusun job description penugasan pada staff, dan diakhiri dengan evaluasi atas kinerja yang diberikan. Dalam hal pemberian bimbingan agar berlangsung secara jujur, adil dan memiliki output yang terukur perlu dibuat buku kendali kerja. Buku ini memuat, pekerjaan apa yang dilakukan, kapan pekerjaan itu diberikan, kapan harus diselesaikan, kepada siapa tugas itu diberikan dan bagaimana hasil pekrjaannya. Pada setiap akhir bulan diadakan evaluasi, berapa kali mendapatkan disposisi untuk melakan pekerjaan, bagaimana pekrjaan diselesaikan, tepat waktu, mundur, atau tidak dikerjakan sama sekali. Atas dasar hasil catatan pada buku kendali kerja dapat diberikan pembinaan sesuai permasalahan yang dihadapi para staff.
Untuk itu diperlukan kecermatan Kepala Sekolah dalam menyusun job deskription, dipahami benar kemampuan masing-masing staff yang ada, serta kapasitas pekerjaan yang harus dilakukan. Jangan pernah dilakukan staff yang lebih rendah tingkatannya mengerjakan pekerjaan yang bukan porsinya, hal ini akan menimbulkan preseden yang tidak baik, kecuali dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu dan harus dikerjakan oleh seorang bawahan.
Bentuk lain dalam pengembangan dan pembimbingan staff termasuk juga karywan dan guru dapat dilakukan melalui peningkatan profesionalisme misalnya diklat, seminar, lokarkarya. Pembinaan karir dan juga pembinaan kesejahteraan. Ketiga hal tersebut merupakan persoalan mendasar yang menyentuh kepentingan para staff. Bila Kepala Sekolah tidak peka terhadap tiga hal tersebut, dikhawatirkan pembinaan yang dilakukan akan mencapai titik balik. Tidak menjadikan berhasil justru merusak kondisi baik yang sudah tercipta.

6. Kemampuan mengikuti perkembangan IPTEK
Kemampuan mengikuti perkembangan IPTEK sangat dituntut dari seorang Kepala Sekolah. IPTEK merupakan pintu ke arah perkembangan keilmuan yang tentunya harus segera diadaptasi oleh segenap komunitas sekolah, utamanya dalam hubungannya dengan proses belajar mengajar. Sebagai contoh dalam hal pengembangan bahan ajar, tidak lagi harus bersumber dari buku teks, tetapi dapat juga mengakses materi melalui internet, melalui cakram datar yang diproduksi oleh pusat pembelajaran, dan sumber lain yang relevan.
Mengingat pintu pengetahuan yang sedang berkembang menuntut penguasan perangkat teknologi komunikasi maka Kepala Sekolah pun harus menguasai perangkat teknologi dimaksud. Tapa penguasaan piranti pembuka tersebut akan sangat sulit untuk mengakses informasi yang diperlukan. Oleh karena itu, bila sebelumnya perangkat teknologi informasi merupakan barang langka dan mungkin luks, kini harus menjadi sebuah kebutuhan. Selain itu, alat tersebut juga sangat membantu tugas-tugas yang harus dikerjakan Kepala Sekolah.
Mengikuti perkembangan pengetahuan dan teknologi sebenarnya merupakan pekerjaan yang sangat luas. Pengembangan keilmuan tersebut tidak hanya bersifat akademis saja, tetapi juga hal-hal yang praktis, seperti bagaimana menyetek adenium, euforbia, serta tanaman-tanaman lain. Pengetahuan-pegetahuan praktis tersebut selain akan dapat memebrikan kontribusi secara pribadi juga dapat dijadikan life skill bagi anak didik dan mungkin juga income bagi skeolah. Oleh karena itu tidak ada salahnya bila mendapatkan ilmu semacam itu. Akhirnya juga dapat memberikan kontribusi baik secara pribadi maupun kelembagaan.

7. Kemampuan memberikan contoh mengajar
Kemampuan membeirkan contoh mengajar merupakan representasi dari tugas Kepala Sekolah sebagai pendidik. Bila dia melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dengan baik, tentunya memberikan contoh mengajar tidak perlu dilakukan lagi. Memberikan contoh mengajar diberikan kepada guru yang kurang mampu mengelola pembelajaran, dan dia harus diberikan contoh mengajar. Bila Kepala Sekolah telah melaksanakan pembelajaran dengan baik, guru akan langsung bisa mengamati bagaimana Kepala Sekolah mengajar tanpa harus memberikan contoh secara langsung. Di sinilah sebenarnya pentingnya kepala Sekolah melaksaakan trugasnya sebagai guru.
Boleh jadi memberikan contoh mengajar dapat dilakukan dengan baik oleh guru, akan tetapi letak persoalannya pada kesungguhan dalam bekerja seorang Kepala Sekolah. Minimal Kepala Sekolah harus bisa berbuat sesuai dengan yang telah disampaikan, sehingga tidak muncul perkataan, bisanya Cuma omong saja, nyatanya disuruh emberi contoh tidak bisa’. Bila hal tersebut muncul maka Kepala Skeolah tidak memiliki nilai lebih di mata anak buahnya. Tetapi bila mampu membeikan contoh menajar dengan baik, maka kehormatan dan kepercayaan akan muncul lebih besar dari anak buahnya, utamanya para guru.
Oleh karena itu, bila pada saatnya harus memberikan contoh mengajar, maka Kepala Skeolah harus memeprsiapkan dengan baiknya. Bila perlu berdiskusi dengan teman sesama Kepaal Sekolah agar lebih mantap dalam memberikan contoh mengajar. Bukankah ada KKKS yang memiliki tugas membantu Kepala Sekolah dalam menyelesaikan tugas Kepala Sekolah yang memiliki masalah. Kelompok tersebut harus dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Tugas Guru, itu Apa?
Berdasarkan kepmendibud 025/U/1995 tentang Petunjuk Teknis Jabatan fungsional Guru dan Angka Kreditnya, disebutkan bahwa tugas guru sekruang-kurangnya ada enam, yaitu menyusun program, melaksanakan program, menilai, melakukan analisis, perbaikan dan pengayaan. Program-program dimaksud berupa program pembelajaran yang meliputi Promes, Silabus, dan RPP. Dalam RPP itu sendiri includ persoalan penyusunan alat evaluasi dan penentuan langkah pembelajaran. Pada handout ini akan diuraikan seacara sederhana penyusunan promes, silabus, dan RPP.

1. Program Semester
Program semester disusun oleh guru atau kepala Sekolah sebagai guru di awal semester. Program semester berupa perencanaan waktu yang dibutuhkan dalam menyampaikan kompetensi dasar dalam satu semester. Perencanaan waktu tersebut dibuat dengan mempertimbangkan minggu efektif dalam satu semster, kegiatan-kegiatan non pembelajaran yang harus diikuti sekolah, hari efektif fakultatif, serta hari lain yang tidak memungkinkan dilakanakan pembelajaran.
Cara sederhana yang dapat ditempuh adalah dengan menghitung jumlah KD yang ada dalam satu semester, menghitung jumlah minggu efektif dalam satu semster termasuk jumlah jam pelajaran tiap Mata pelajaran. Selanjutnya jumlah jam dalam satu semester tersebut dibagi jumlah kompetensi dasar yang ada, dan ditemukan alokasi waktu untuk masing-masing kopetensi dasar. Cara sederhana ini masih menganggap kompetensi dasar dengan keluasan materi yang sama, belum dilakukan analisis secara mendalam terhadap ruang lingkup materi. Setelah ditemukan angka angka dasar dari hasil pembagian tersebut, dapat dijadikan bekal untuk menambahkan alokasi waktu tiap KD setelah melakukan analisis secara mendalam.
Misalnya :
Jumlah Komtensi Dasar (KD) dalam satu semester ada 12
Alokasi waktu untuk mapel tersebut 4 jam
Minggu efektif yang tersedia 17 minggu
Maka jumlah jam pelajaran dalam satu semester tersebut adalah 4 jam x 17 minggu = 68, untuk itu alokasi waktu tiap-tiap KD adalah 68 : 12 = 5 atau 6 jam termasuk di dalamnya kegiatan ulangan, perbaikan dan pengayaan. Alokasi yang 5 atau 6 jam tiap KD dapat ditambah atau dikurangu setelah dilakukan analisis keluasan pengembangan bahan ajar pada tiap-tiap KD.
Cara tersebut dapat dikatakan cukup sederhana. Kepala Sekolah sebagai guru dapat menggunakan cara lain yang lebih tepat dengan menyesuaikan pada situasi kondisi yang ada. Kondisi yang ada misalnya, mengajar Kelas VI untuk Mata pelajaran Matematika, KD selama satu tahu disampaikan seacara keseluruhan pada semester 1, sedangkan semester 2 khusus membahas soal-soal Ujian l, guna menghadapi UASBN misalnya. Hal tersebut juga merupakan program pembelajaran yang disusun oleh Kepala skeolah sebagai guru.
Berdasarkan Program Semester yang telah dibuat oleh Kepala Sekolah selanjutnya dijadikan acuan dalam menyusun Silabus. Bekal alokasi waktu akan memberikan kemudian dalam mengitung jumlah jam tiap KD yang harus dituangkan dalam Silabus. Dengan menyusun Program Semester satu langah awal telah diselesaikan dalam mempersiapakan program pembelajaran.

2. Menyusun Silabus
Silabus dapat dimaknai sebagai garis-garis besar kegiatn yang dilakukan dalam pembelajaran. Pengertian secara rinci sebagaimana tertuang dalam panduan penyusunan silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar.
Silabus dibuat guna menjawab pertanyaan pertanyaan, kompetensi apa yang harus dikuasai siswa, bagaimana cara mencapainya serta dengan apa kompetensi tersebut diukur. Bila telah disusun Silabus, maka ketiga pertanyaan tersebut telah dijawab. Pedoman penyusunan Silabus diatur dalam Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses.
Komponen yang terdapat dalam silabus meliputi : Identitas Mata pelajaran atau ema pelajaran, SK, KD, Materi pembelajaran, Kegiatan pembelajaran, Indikator Pencapaian Kompetensi, Penilaian, Alokasi Waktu dan Sumber Belajar. Dari komponen tersebut selanjutnya dapat dibaca garis garis besar langkah kegiatan yang akan dilaksanakan guru dalam proses pembelajaran. Dari beberapa komponen tersebut selajutnya dipresentasikan dalam bentuk matrik, agar pemahamannya lebih konsisten. Matrik dimaksud adalah sebagai berikut :
Format Silabus
Identitas SilabusMata pelajaran :
Kelas/Semester :
Standar Kompetensi :

KD
Materi Pembelajaran
Kegiatan Pembelajaran
Indikator
Penilaian
Alokasi Waktu
Sumber Belajar








Pola pikir yang dapat dikembangkan dalam menyusun silabus setelah mengutip identitas, SK dan KD adalah sebagai berikut: setelah mengutip KD diiembangkan pertanyaan, indikator apa saja yang. menjadi penanda penguasaan kompetensi. Indikator-indikator tersebut selanjutnya dikembangkan dalam bentuk materi ajar. Bila materi ajar sudah tersusun, dikembangkan pertanyaan, dengan cara bagaimana yang dikembangkan guru agar indikator kompetensi dapat dikuasai siswa sehingga kompetensi dasarnya juga dapat dikuasai.
Langkah berikutnya adalah menyusun alat penilaian, pertanyaan yang dimunculkan adalah dengan cara apa indikator pencapaian KD dapat diukur, dan butuh waktu berapa lama untuk menguasai indikator yang telah dikembangkan, setelah itu, dari mana sumber belajar didapat guna mendukung pencapaian kompetensi dasar. Bila pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat ditulis jawabannya dengan tepat maka jadilah sebuah silabus yang merupakan langkah pokok dalam pembelajaran.
Aplikasi dari pertanyaan-pertanyaan tersebut kurang lebih demikian :

SK
Memahami beragam sifat dan perubahan wujud benda serta berbagai cara penggunaan benda berdasarkan sifatnya
KD
Mengidentifikasi wujud benda padat, cair, dan gas memiliki sifat tertentu

Pertanyaan yang dikembangkan adalah apa saja ciri-ciri anak yang menguasai (indikator) Kompetensi Dasar di atas?. Ciri-ciri anak yang menguasai kompetensi (indikator) di atas adalah yang mampu :
1. menyebutkan contoh benda padat
2. menyebutkan contoh benda cair
3. menyebutkan contoh benda gas
4. menyebutkan sifat bentuk benda padat
5. menyebutkan sifat bentuk benda cair
6. menyebutkan sifat bentuk benda gas
Berdasarkan indikator tersebut kemudian dapat disimpulkan materi yang akan di ajarkan. Sesuai contoh, dari enam indikator yang ada sebeanrnya dapat dibagi dalam dua garis besar yaitu bentuk benda dan sifat benda. Maka pada materi pelajaran cukup dituliskan garis besar dari jabaran indikator yang ada, yaitu contoh benda padat, cair dan gas, serta sifat benda padat, cair dan gas. Kedua bahasan iyulah yang dituliskan pada materi ajar.
Penyusunan indikator itu sendiri dapat dibuat dengan mendasarkan diri pada beberapa konsep. Ada yang memulai dengan pertanyaan apa, mengapa, bagaimana, dsb. Ada juga yang mengembangkan dengan mendasarkan diri pada taksonomi Bloom. Artinya dimulai dari penjelasan tentang pengertian (Ingatan), penjelasan dari penegertian itu sendiri disertai contoh (pemahaman), penerapan secara nyata (Aplikasi), mendaur ulang konsep (analisis), mengembalikan konsep yang telah di daur menjadi pengertian yang utuh (sintesis) dan menilai baik buruk suatu konsep (evaluasi). Dengan demikian luas dan sempitnya pengembangan indikator mutlak tergantung pada kemampuan guru, semakin mampu guru mengembangkan ciri dari sebuah kemampuan, maka semakin banyak indikator yang diciptakan yang berarti juga semakin luasnya materi yang dapat dikembangkan.
Langkah berikutnya adalah menentukan kegiatan pembelajaran Dalam menentukan kegiatan pembelajaran didahului dengan pertanyaan dengan cara apa materi ajar dapat dikuasai siswa. Dengan cara apa tersebut menyangkut pilihan strategi pembelajaran yang akan dilaksanakan. Oleh karen itu dalam penyusunan kegiatan pembelajaran tersebut dapat terbaca apakah guru masih cendrung mengunakan model tradisional atau telah mengembangkan pembelajaranb moder. Bila dalam kegiatan pembelajaran tertulis guru menjelaskan contoh benda padat, jelas sekali bahwa pola yang dipergunakan adalah guru mengajar murid belajar, artinya tradisional. Akan tetapi bila yang muncul adalah anak mengamati berbagai macam benda padat, cair dan gas yang disediakan, anak mengerjakan LKS hasil pengamatan, anak mendiskusikan, berarti guru mencoba memberdayakan anak untuk mendapatkan pengetahuannya tanpa harus diberitahu.
Pada indikator-indikator yang telah dikembangkan tentu lebih baik disampaikan dengan cara inquiri atau penyelidikan. Anak menyelidiki secara langsung beda-bena yang telah disediakan, kemudian anak akan mendiskusikan bentuk bentik benda yang aa, dan mungkin dengan mengotak atik bena yang ada dapat diketahui sifat bena tersebut. Untuk sampai pada kesimpulan bentuk, sifat dan contoh tersebut harus dipandu guru dalam bentuk penugasan dengan instrumen berupa Lembar kerja Siswa. Pada kondisi yang demikian berarti guru telah mencoba mengembangkan kegiatan pembelajaran dengan memberdayakan potensi anak didik.
Bila penyusun Silabus telah menyelesaikan langkah pembelajaran praktis usailah sudah roses penyusunan silabus. Sebab kompoen yang tersisa semuanya tidak memrlukan pemikiran yang detail. Alokasi waktu dikutip dari promes yang sudah dibuat, sumber belajar dituliskan berdasarkan buku sumber yang akan dipergunakan.
Yang masih tersisa dan membutuhkan pemikiran selanjutnya adalah penyusunan alat evaluasi. Itupun sesungguhnya telah terpandu oleh adanya indikator maupun langkah pembelajaran. Pada indikator yang telah dikembangkan sebenarnya dapat dibuat pengukuran dengan tes tulis, karena proses pembelajaran dilakukan dengan cata pengamatan berarti bentuk penugasan akan lebih tepat, walaupun pada akhir pelajaran dapat diukur lagi dengan tes tulis yang dilisankan. Pada silbus, bentuk penilaian yang akan dilaksanakan cukup ditulis teknik apa yang akan dibuat, tidak perlu mencantumkan instrumen. Instrumen penilaian secara rinci akan dibuat ketika sudah menyusun RPP.

Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Rencana Pembelajaran adalah operasionalisasi dari silabus yang sudah dibuat. Bila Silabus merupakan garis garis besar, RPP ada adalah jabaran dari garis garis besar tersebut. Rincian tersebut diharapkan sudah sangat aplikatif dalam proses pembelajaran, sehingga RPP akan menjadi skenario pelaksanaan pembelajaran yang direncanakan.
Komponen RPP sebagaimana dalam Standar Proses meliputi: Identitas Mata pelajaran, Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, Tujuan, Indikator, Tujuan Pembelajaran, Materi Ajar, Alokasi Waktu, Metode Pembelajaran, Kegiatan pembelajaran, Penilaian Hasil Belajar dan Sumber Belajar. Komponen-komponen tersebut dalam penulisannya lebih tepat bila dibuat dalam bentuk narasi, tidak dalam bentuk matrik sebagimana silabus.
Penjabaran silabus menjadi lebih operasional dalam bentuk RPP berdasarkan contoh adalah sebagai berikut:

Mata pelajaran : IPA
Kelas/Semester : IV/1
Standar Kompetensi : Memahami beragam sifat dan perubahan wujud benda serta berbagai cara penggunaan benda berdasarkan sifatnya
Kompetensi Dasar : Mengidentifikasi wujud benda padat, cair, dan gas memiliki sifat tertentu

Indikator


1. menyebutkan contoh benda padat
2. menyebutkan contoh benda cair
3. menyebutkan contoh benda gas
4. menyebutkan sifat bentuk benda padat
5. menyebutkan sifat bentuk benda cair
6. menyebutkan sifat bentuk benda gas

Tujuan Pembelajaran
Setelah melakukan pengamatan terhadap benda padat, cair dan gas, diharapkan siswa mampu :

1. menyebutkan contoh benda padat
2. menyebutkan contoh benda cair
3. menyebutkan contoh benda gas
4. menyebutkan sifat bentuk benda padat
5. menyebutkan sifat bentuk benda cair
6. menyebutkan sifat bentuk benda gas

Bila melihat rumusan indikator dan tujuan kita melihat kata dan kalimat yang sama, sering sering diasumsikan bahwa tujuan sama dengan indikator. Padahal makna substansialnya tidak sama. Rumusan tujuan harus dideskripsikan dalam bentik proses dan hasil. Pada rumusan tujuan di atas, prosesnya adalah mengamati, hasilnya mampu menyebut. Berbeda dengan indikator, indikator adalah ciri penenada dari kompetensi yang hendak diajarkan. Oleh karena itu tujuan adalah prioritas-prioritas perkerjaan yang dilakukan untuk menguasai indikator yang berujung pada penguasaan kompetensi.
Perbedaan yang lain, bahwa perumusan indikator harus dibuat seacara keseluruhan dari sebuah kompetensi yang akan di ajarkan. Pada tujuan tidak lagi diberlakukan konsep perumusan, melainkan penulisan, karena sifatnya analog pada indikator. Selain itu penulisan tujuan tidak harus dituliskan secara keseluruhan melainkan dapat ditulis sebagian-sebagian karena harus dibagi dengan RPP pada pertemuan yang berikut.

Materi Ajar


Contoh benda padat : ...,...,...
Contoh benda cair : ..., ..., ...
Contoh benda gas ..., ..., ...
Sifat benda padat : ...,...,...
Sifat benda cair : ..., ..., ...
Sifat benda gas ..., ..., ...

Materi ajar memuat fakta, konsep, dan prosedur yang relevan dengan kompetensi dasar atau merupakan pengembangan dari isi indikator. Untuk itu materi ajar harus diuraikan sebagaimana maksud tujuan pembelajaran. Dalam hal tersebut tidak bisa dituliskan hanya pokok-pokoknya saja, sebab bila ditulis pokok-pokoknya maka RPP sebagai penjabaran dari silabus tidak terbukti.

Alokasi Waktu
2 x 35 menit



Alokasi waktu dalam RPP dituliskan berdasarkan hasil bagi dari alokasi waktu yang ada pada silabus dengan jumlah pertemuan yang direncanakan. Misalnya dalam Silabus tertulis alokasi waktu 6 jam, sementara akan dibuat 3 RPP, maka dalam setiap RPP alokasi waktu adalah 2 jam permtemuan atau 2 X 35 menit.

Metode Pembelajaran
Penugasan
Diskusi
Ceramah
Tanya Jawab

Metode pembelajaran adalah pilihan pilihan cara yang akan ditempuh dalam membelajarkan siswa. Pada contoh di atas ada empat metode yang akan dipergunakan, mulai dari penugasan, diskusi, ceramah, tanya jawab. Pola pikir yang mengikuti, anak disuruh mengamati benda-padat, cair dangas, setelah itu mengisi lembar kerja siswa, mendiskusikan lembar kerja siswa, menarik kesimpulan, memberi penguatan, memberikan kesempatan tanya jawab. Pelaksanaan kegiatan tersebut akan tampak jelas dalam kegiatan pembelajaran, yang merupakan implementasi dari metode:

Kegiatan pembelajaran
Kegiatan Awal
1. melakukan tanya jawab tentang benda benda di alam sekitar
2. menyamaikan tujuan pembelajaran
3. membuat kesepakatan
4. membagi kelompok
Kegiatan Inti
1. guru membagikan lembar kerja siswa secara kelompok
2. siswa melakukan pengamatan terhadap benda padat, cair dan gas
3. siswa mengerjakan LKS secara berkelompok
4. siswa melakukan diskusi kelas
5. siswa dan guru membuat kesimpulan bersama
6. guru memberikan penguatan hasil diskusi
7. guru memberikan kesempatan bertanya
8. guru memberikan kesempatan siswa untuk mencatat penguatan
Kegiatan Penutup
1. guru dan siswa merefleksikan benda kegunaan benda padat, cair, dan gas yang ada di dalam dan cara penggunaan dan pengawetannya
2. guru mengakhiri pembelajaran dengan motivasi kepada siswa

Pada kegiatan pembelajaran di atas, jelas sekali menunjukkan rincian dari metode yang telah ditulis pada metode pembelajaran, namun diuraikan lebih rinci langkah-langkah kegiatannya. Kegiatan pembelajaran di atas juga menunjukkan orientasi pembelajaran yang memberikan penguatan pada aktivitas siswa. Guru hanya memfasilitasi sebelum pelaksanaan pembelajaran, yakni menyiapkan benda-benda yang dibutuhkan untuk diamati siswa. Pada kegiatan pembelajaran inilah tercerminkan apakah pembelajaran berpusat pada siswa atau pada guru. Guru perlu memilih kegiatan yang lebih mengaktifkan siswa.
Langkah berikutnya setelah merumuskan kegiatan pembelajaran adalah merumuskan alat penilaian. Alat penilaian ini dibuat berdasarkan in dikator yang telah dibuat. Oleh karena itu pada Silabus penulisannya didekatkan antara indikator pencapaian KD dengan Penilaian. Meskipun penulisannya didekatkan, pola pikir penyusunan indikator dilakukan setelah mengutip KD, tidak seusai kegiatan pebelajaran.

Penilaian Hasil Belajar
Prosedur
Penilaian proses dan Hasil Belajar
Teknik
Penugasan, Unjuk Kerja, Tes Tulis
Instrumen
Lembar kerja Siswa, Format Pengamatan Diskusi, Soal


Pada prosedur dicantumkan penilaian proses dan penilaian hasil yang berarti hars melakukan penilaian semala prose pembelajaran dan sesudah. Teknik yang dupergunakan menili adalah Penugasan, terkait dengan penilaian ini intrumennya berupa Lembar Kerja Siswa, Unjuk Kerja instrumen yang dipakai adalah Lembar Pengamatan Unjuk Kerja (Diskusi) dan soal.
Setelah menuliskan istrumen yang pada penilaian hasil belajar kemudian di bawahnya dibuatlah insyrumen-instrumen seperti yang tercantum.

Lembar kerja Siswa
Kelompok : ...........
Prosedur:
Disediakan beberapa model benda padat, cair, dan gas
Perintah :
Amatilah benda-benda tersebut dengan teliti
Penugasan
1. Sebutkan benda-benda yang termasuk benda padat, cair dan gas beserta sifat-sifatnya, masukkan jawaban kalian pada kolom berikut:

No

Nama Benda
Termasuk Benda
Padat
Cair
Gas
1




2




3




4




5




6




7




8




9




10










Rubrik Penilaian
Siswa dianggap menguasai KKM bila sekurang-kurangnya mampu mengisi enam nomor dengan benar.
Setelah menulsikan isntrumen yang pertama disusul instrumen yang kedua dan ketiga. Pada bagian akhir instrumen dituliskan rambu-rambu jawaban untuk soal tertulis, serta rubrik penilaian masing-masing alat penilaian. Rubrik penilaian diperlukan sebagai kriteria untuk menetukan apakah seorang anak telah menguasai KKM atau belum.
Bagian paling akhir dari RPP adalah Sumber belajar. Pada bagian tersebut dituliskan buku-buku, majalah, koran, kamus, ensiklopedia serta alat alat yang mendukung proses pembelajaran. Pada penulisan buku lebih baik bila disepesifikasi pada halaman buku tempat materi yang dipergunakan. Pencantuman alat pada sumber belajar mengandung pengertian bahwa sumberbelajar tidak hanya buku, tetapi juga alat peraga yang dipergunakan.

Daftar Pustaka

Depdiknas. 2003. Pedoman Penilaian Kinerja Sekolah Dasar. Jakarta : Dirjendikdasmen

................., 2003. Panduan Pengelolaan Sekolah Dasar. Jakarta : Dirjendikdasmen

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses
[1] Disajikan dalam rangka Diklat Calon Kepala Sekolah di Kab Jombang. 1- 6 Desember 2008

Pemahaman Bacaan Sastra

Oleh : Nurali
Kasi Kurikulum SD Dinas Pendidikan
Kabupaten Jombang


Pengantar Pembahasan
Munculnya kata pemahaman pada judul di atas berawal dari beberapa istilah yang muncul dari pendapat beberapa tokoh sastra dalam rangka memunculkan unsur-unsur yang turut membangun karya sastra. Istilah-istilah tersebut meliputi: telaah sastra, sorotan aats karya sastra, penelitian karya sastra, apresiasi sastra, serta kritik sastra, Istilah telaah sastra dipakai oleh MS Hutagalung dalam bukunya telaah puisi. HB jassin mengerucutkan dengan istilah sorotan atas karya sastra dalam bukunya Analisa Sastra, kemudian Slamet Mulyana dalam bukunya beberapa peristiwa Bahasa dan Peristiwa Sastra menggunakan kata penelitian sastra.
Terminologi telaah sasatra menyiratkan pengertian menelaah, mempelajari, menilik, menyelidiki, dan memerikasa karya sastra. Analisa sastra membicarakan hal-hal yang terdapat dalam karya sastra, termasuk pesan serta kemahiran penulis dalam menuangkan kretivitasnya. Sementara konsep penelitian sastra dimaknai sebagai proses memeriksa dengan cermat unsur-unsur yang membangun karya sastra. Apabila ketiga proses tersebut telah dilalui oleh seorang pembaca karya sastra, orang tersebut tentunya menjadi paham akan hal-hal yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Maka pengertian yang lebih luas dan melingkupi ketiga pengertian di atas atas adalah pemahaman atas Bacaan Sastra.
Implementasi dari pemahaman atas sebuah karya sastra, pembaca akan mampu menerjemahkan sisi positif, nilai guna, refleksi sastra berikut keindahan-keindahan yang muncul pada sebuah karya sastra. Proses pengindahan tersebut selanjutnya diberi istilah apresiasi sastra. Atas pengetahuan terhadap nilai yang dimiliki karya sastra pembaca akan mampu menimbang kebaikan, kejelekan, kelebihan maupun kekurangan sebuah karya sastra. Peristiwa tersebut selanjutnya diberikan istilah sebagai kritik sastra.

Unsur Pembangun Karya Sastra
Karya sastra dibangun oleh beberapa unsur. Slamet Mulyono menyebutnya sebagai unsur bentuk dan unsur isi. Unsur bentuk dikenal dengan istilah intrinsik sedangkan unsur isi diistilahnya dengan unsur ekstrinsik. Unsur bentuk dalam membentuk sebuah karya sastra akan membedakan genre sastra yang akan muncul. Sementara isi sebuah karya sastra akan menentukan kecenderungan atau perwajahan sebuah karya sastra. Meskipun unsur bentuk dalam membangun semua karya sastra secara umum memiliki kesamaan, pasti ada satu atau dua unsur bentuk yang berbeda.
Unsur bangun karya sastra yang berupa prosa pada umumnya adalah tema, alur, tokoh, setting, sudut pandang dan gaya. Pada puisi terdapat unsur-unsur sajak, baris maupun bait. Karya sastra berbentuk drama menambahkan unsur dialog, kramagung (penjelasan action atas sebuah diaog), babak, musik, serta tokoh-tokoh yang lebih visual dibandingkan prosa maupun puisi.
Unsur isi membangun sebuah perwajahan, apakah sebuah karya sastra memiliki perwajahan sosiologis, psikologis, antropologis, religi, historis, etika maupun estetika. Wajah sosiologis dominan dengan peristiwa sosial dalam sebuah karya sastra. Unsur psikologis menampakkan konsep psikologis dalam jalinan alur maupun watak-watak tokohnya. Demikian juga dengan konsep antropologis yang berbau kebudayaan, religi berbau keagamaan, etika yang moralis, serta estetika yang berkutat pada persoalan keindahan.
Gabungan antara bentuk dan isi memberikan makna tertentu bagi sebuah karya sastra yang telah dipahami melalui sudut pandang apresiasi maupun kritik sastra. Artinya apakah sebuah karya sastra akan menjadi sebuah mastepiece atau sebaliknya, ditentukan oleh kepadauan anatra bentuk dan isi yang tidak terpisahkan. Artinya, tidak berarti isi menarik bentuk kurang mendukung, bentuknya bagus isinya terlalu sederhana, dan sebagainya.

Bacaan Sastra Untuk Siswa Sekolah Dasar
Sebuah bacaan sastra tentu tidak dapat dikategorikan apakah karya tersebut dikhususkan untuk dibaca oleh anak atau orang dewasa. Ketika karya tersebut dimunculkan di tengah tengah masyarakat, siapa pun bisa menjamahnya, lepas dari kriteria usia. Boleh jadi sebuah bacaan hanya diperuntukkan bagi orang dewasa, tetapi bila jatuh di tangan anak-anak tentu akan dibacanya. Sama, seperti film 17 tahun ke atas, ketika seorang anak membawa tiket, petugas portir pun tidak bisa menolaknya, meskipun jelas-jelas tertera tulisan untuk 17 tahun ke atas. Dalam hal tersebut orang tua harus selektif dalam menyajikan bacaan bagi putra-putrinya.
Bacaan sastra untuk peserta didik di sekolah dasar tentunya harus disesuaikan dengan perkembangan yang sedang berlangsung pada anak usia Sekolah Dasar. Cerita yang sesuai perkembangan usia ini umumnya adalah sejarah tentang sebuah daerah, cerita rakyat, cerita yang memotivasi untuk belajar, semangat, kegigihan dalam berjuang, ketabahan, serta nilai-nilai keagamaan. Namun demikian tidak menutup kemungkinan tema lainnya bila masih dalam batas layak dibaca oleh anak-anak. Lebih mudahnya untuk menunjuk, bila cerita tersebut hanya layak dibaca oleh orang dewasa, maka jangan disajikan untuk peserta didik yang masih di Sekolah Dasar.

Pemahaman Bacaan Sastra Anak
Pemahaman bacaan sastra anak dapat dijadikan sarana penanaman nilai kehidupan secara lebih universal. Anak akan mengenal keindahan, etika, filsafat, serta berbagai teknik katarsis lainnya secara lebih demokratis. Anak akan masuk dunia nyata secara langsung meskipun melalui media tiruan. Pada batas sastra sebagai cermin masyarakat serta kritik sosial yang sengaja dihembuskan oleh penulisnya, karya sastra akan mampu memberikan pencerahan sosial secara alamiah tanpa dibuat-buat. Alamiahnya proses tersebut karena tidak melalui doktrin-doktrin yang diberikan guru yang kadang justru mengkacaukan pemahaman anak.
Namun demikian kondisi tersebut masih berada pada tataran yang sangat sederhana. Secara tekstual, anak mungkin hanya ditunjukkan dengan cerita tentang anak yang ditinggal meninggal oleh Bapaknya, cerita tentang anak-anak jalanan yang ingin hidup normal seperti anak-anak lainnya. Atau mungkin seorang anak yang harus membantu bekerja orang tua di sawah, sementara ia juga masih ingin bermain main dengan temannya. Permasalahan-permasalahan tersebut merupakan awal dari sebagai modal yang harus dimiliki untuk memahami bacaan sastra lebih lanjut.
Bila pemunculan teks sastra benar-benar dimanfaatkan sebagaiamana fungsinya tentu akan sangat baik, akan tetapi pada umunya sajian karya sastra hanya memiliki nilai praktis untuk mengerjakan soal-soal ujian yang terkait dengan pemahaman bacaan. Lebih dari itu hanya berupa bekal yang mungkin belum akan terpahami secara maksimal oleh anak. Soal-soal yang terkait dengan unsur keindahan, perwajahan, tentu belum akan muncul pada soal-soal ujian akhir sekolah, meskipun tidak dilarang, dan sepanjang masih merupakan bagian dari kompetensi yang harus dikuasai, maka sah sah saja untuk diujikan pada peserta didik.
Untuk memahami karya sastra dapat dimulai dari unsur intrinsik pembangun karya sastra. Unsur tersebut meliputi tema, alur, tokoh, setting, sudut pandang serta gaya bahasa. Tema adalah persoalan dasar dalam sebuah karya sastra. Pada peserta didik Sekolah Dasar lazim dikenalkan dengan istilah pokok pikiran, atau yang menjadi pembicaraan dalam sebuah wacana sastra, tetapi tidak jarang juga disebutkan dengan istilah tema. Di bawah ini contoh paparan tema sebuah wacana atau pikiran utama sebuah teks:

Taman sekolahku sangat indah. Selain indah, teman itu juga bersih. Keberadaan taman sekolah membuat sekolahku semakin cantik dilihat. Apalagi bila jam istirahat tiba, ketika ketika lelah belajar, pikiran kita akan segar kembali setelah melihat taman yang bersih penuh dengan bunga beraneka warna dan pohon-pohon rindang yang berjajar rapi. Tentu saja, jasa Pak Dudung tukang kebun sekolahku sangat besar dalam merawat keindahan dan kebersihan taman sekolahku. (naskah Soal UASBN 2009 )

Bila tema wacana di atas ditanyakan kepada peserta didik, maka yang harus dilihat adalah dominasi kata yang berkali-kali disebut. Kata indah disebut tiga kali. Setelah itu paparan dari sebuah keindahan yang diungkap dalam wacana. maka tema yang tepat adalah keindahan. Hanya saja menjadi sangat disayangkan ketika dalam option jawaban tidak tersebut kata keindahan.
Tokoh adalah pelaku dalam sebuah cerita, orang, hewan, atau apapun yang berlakuan dalam sebuah cerita. Tokoh dibangun oleh sebuah penokohan atau cara meokohkan. Cara menokohkan dapat dilukiskan melalui nama, bentuk fisik, lakuan yang diperankan, atau pikiran-pikiran yang muncul dalam teks. Menebak sebuah tokoh dapat dimunculkan dengan pertanyaan siapa, bila yang berlakuan adalah manusia, atau apa bila yang berlakuan adalah benda. Berdasarkan proses penokohan tersebut akan muncul tokoh yang baik, tokoh yang jahat, tokoh baik kemudian jahat dan sebaliknya.
Perhatikan contoh berikut:

Suatu saat ia berlabuh di wilayah Madura dengan tujuan ingin mengganggu seluruh gadis Madura. Akan tetapi Jokotole telah mengetahui niat jahat dampo Awang. Jokotole dan Dampo Awang bertarung mengadu kesaktian di tengah lautan. Cemeti Joko Tole menghantam perahu Dampo Awang. Perahu Dampo Awang hancur dan Dampo Awang tewas... (Naskah Soal UASBN 2009 N0 5)

Pada kutipan di atas jika ditanyakan siapa yang diceritakan atau siapa yang berlakuan dalam wacana? Tentu jawabnya adalah Joko Tole dan Dampo Awang. Joko Tole dan dampo Awang adalah tokoh dalam sebuah cerita. Lalu bagaimana perwatakan yang dimiliki? Maka jawabnya Jokotole berwatak baik sedangkan Dampo Awang berwatak jahat. Perwatakan Dampo Awang digambarkan melalui cerita pengarang sedangkan perwatakan Joko Tole digambarkan lewat perbuatannya melawan kejahatan Dampo Awang.
Alur secara sederhana dapat dimaknai sebagai jalan cerita. Lebih sederhana lagi diungkap dengan pertanyaan bagaimana ceritanya. Jawaban yang muncul adalah mula-mula ada tokoh di suatu tempat, bertemua dengan tokoh lain, terjadi pertentangan, pertentangan memuncak, kemudian ada penyeleaian cerita. Jalan cerita dapat dimulai dari akhir cerita bergerak menuju awal. Atau lurus dari awal menuju akhir cerita. Alur yang dimulai dari akhir disebut flashback.
Alur atau jalan cerita memang tidak mudah ditebak sebelum menyelesaikan selutuh karangan. Oleh karenanya jarang sekali pertanyaan tentang alur muncul dalam tes ujian. Namun demikian pengungkapan sebuah alur tetap menajdi porsi guru dalam pengenalannya. Untuk itu, jika sebuah kompetensi tidak mungkin diujikan dalam ujian tulis, maka harus dijaring lewat alat tes yang lain.
Setelah memahami alur, maka pemahaman karya sastra berikutnya adalah setting, latar, atau waktu maupun tempat terjadinya sebuah peristiwa dalam cerita. Setting sebuah cerita bisa disajikan secara eksplisit atau mungkin secara implisit. Untuk peserta didik di Sekolah Dasar mungkin belum sampai secara implisit, tetapi perlu juga dikenalkan. hal tersebutkan disebabkan penggunaan kata maupun kalimat tidak saja milik sebuah karya sastra, tetapi menjadi bagian dari alat komunikasi sosial, atau media kreativ lainnya, seperti lagu.
Perhatikan, ...dari musin durian hingga musim rambutan, tak juga aku dapatkan..., dua kali puasa, dua kali lebaran.. Ungkapan tersebut tentu tidak menyajikan waktu secara eksplisit, tetapi dapat dimaknai dengan satu musim atau satu tahun. Kutipan kedua menandakan jangka waktu dua tahun, karena setiap bulan puasa dan hari raya berselang satu tahun.
Pemahaman yang demikian tentunya memerlukan kecermatan dan kejelian daya baca. Selain itu itu juga diperlukan wawasan yang agak luas perihal diksi dari sebuah kalimat. Tanpa ketelitian dan kecermatan bisa jadi tidak menemukan setting dalam sebuah karya sastra, padahal setting juga merupakan unsur yang dominan dalam membangun tampilan sebuah kaya sastra.
Sudut pandang dalam karya sastra diartikan sebagai cara pengarang menyajikan ceritanya. Cerita tersebut dapat disajikan dengan gaya aku, gaya dia, atau pengarang sama sekali diluar karya yang ditulisnya. Artinya pengarang sebagai dalang yang serba tahu atas tokoh yang diperankannya. Pengarang dapat berbicara apa saja secara bebas tentang tokoh, tema, setting atau hal-hal lain yang akan disajikan.
Sama dengan memahami alur, cukup rumit menanyakan sudut pandang dalam naskah ujian. Namun demikian tidak berarti tidak harus diujikan kepada peserta didik. Masih ada cara lain yang bisa dipergunakan guru dalam mengukur kemampuan peserta didik dalam memahami sudut pandang. Artinya sudut pandang pun dapat diujikan oleh guru.
Gaya sebagai bagian dari karya sastra tersebar menyeluruh pada karya sastra, baik berupa gaya bahasa maupun pilihan kata tertentu oleh pengarang. Gaya merupakan kekhususan pengarang dalam melakukan pilihan kata yang dimungkinkan membeirkan efek tertentu pada hasil akhir karya ciptanya. Sifatnya pribadi sekali dengan ukuran-ukuran yang juga pribadi sekali. Untuk itu diperlukan pemahaman khusus serta bandingan karya lain dari pengarang yang bersangkutan lebih beragam, agar ketepatan memahami makna menjadi lebh sempurna.
Ada pengarang menggunakan kata njlimet untuk menggantikan kata specifik, ada yang menggunakan kata bajingan, korak, pencoleng, untuk menggantikan makna orang yang berperilaku jahat. Pilihan-pilihan kata tersebut tentunya memberikan efek makna yang berbeda dari aksesntuasi makna yang dikehendaki oleh pengarangnya.
Terkait dengan hal-hal tersebut, meskipun dalam konsep ilmu sastra terdapat unsur instrinsik sebagai salah satu acuan dalam memahami karya sastra, untuk peserta didik di sekolah dasar dapat mempergunakan acuan yang umum, yakni acuan-acuan yang lebih mudah dipahami oleh peserta didik tanpa mengurangi esensi yang diharapkan. Acuan tersebut misalnya konsep 5W dan 1 H. Konsep apa, siapa,mengapa, kapan, di mana dan bagaimana tersebut pada prinsipnya dapat menjawab pertanyaan, apa yang menjadi persoalan dalam cerita, siapa yang bermasalah, mengapa terjadi masalah, kapan masalah terjadi, di mana masalah terjadi, dan bagaimana terjadinya masalah.
Dengan mengembangkan enam petanyaan di atas, dapat dijawab unsur intrinsik yang turut membangun sebuah karya sastra. Perbedaannya, pada setiap jawaban yang muncul tidak hanya dijawab dengan satu kata, tetapi dengan beberapa kata agar menjadi lebih rinsi merujuk pada konsep yang lebih specifik. Misalnya kapan terjadinya masalah, jawabannya adalah, masalah terjadi pada tanggal ...., ketika ...., bersamaan dengan .... dsb. Dengan demikian ada ciri penanda jawaban antara pertanyaan yang ditujukan untuk teks sastra dan teks non sastra.

Strategi Pembelajaran Pemahaman Bacaan Sastra.
Memahami bacaan sastra pada prinsipnya sama dengan memahmi bacaan-bacaan lainnya. Dalam konteks kebahasan masih berlaku prinsip language is habit, bahasa adalah kebiasaan. Untuk itu anak perlu dilatih secara terus menerus sesuai dengan jumlah jam yang ada di kelas masing-masing. Prinsipnya ketika anak harus belajar membaca maka guru harus memberikan bacaan, ketika belajar mendengarkan maka harus ada bahan dengan yang disediakan guru, termasuk ketika belajar berbicara atau menulis. Semakin terbiasa anak melakukan proses membaca akan semakin bagus hasilnya. Semakin jarang membaca tentu semakin tidak bagus hasil bacanya.
Proses pembelajaran dilakukan sebagai berikut:
- Guru menyediakan bacaan sastra untuk jangka waktu tertentu
- Guru melakukan stimulasi tentang karya sastra
- Guru dan siswa mendiskusikan proses pembelajaran yang akan dilakukan
- Guru membagikan bahan bacaan untuk dibaca siswa dalam waktu yang telah ditentukan (misanya 10 menit atau 15 menit)
- Selama siswa melakukan pembacaan atas teks karya sastra guru wajib menunggu dengan membawa stopwatch sebagai penanda waktu
- Bila waktu sudah menunjukkan kesesuaian dengan jatah waktu, guru harus memerintahkan siswa untuk mengakhiri pembacaan
- Guru dan siswa melakukan pembahasan
- Guru dan siswa mengambil kesimpulan atas teks sastra yang telah dibaca
- Guru memberikan penguatan terhadap hasil diskusi
Proses tersebut harus dilakukan guru setiap melaksanakan pembelajaran bahasa. Artinya saat melakukan pembacaan guru harus benar-benar menghitung kecepatan baca siswa. Proses pembacaan dilakukan dimulai dari waktu yang panjang, kemudian secara bertahap ditingkatkan dengan jatah waktu yang semakin sempit. Dengan demikian kecepatan baca peserta didik akan menjadi lebih efektif, karena ada pengawalan dari guru.
Beberapa catata yang harus diberikan kepada guru antara lain.
- Jangan meninggalkan siswa ketika siswa sedang membaca, karena dimungkinkan proses pembacaan tidak akan intensip
- Jangan memberikan sinopsis karya sastra untuk dibaca anak, anak harus membaca bacaan secara utuh, bila tidak ditemukan bahan bacaan yang dapat dibaca selesai dalam waktu singkat lebih baik guru membuatkan karya sastra sendiri untuk dibaca anak sehingga dapat diukur berapa lama dapat dibaca
- Upayakan guru menjelaskan kata-kata yang mungkin belum diketahui maknanya oleh siswa, sehingga ketika memahami bacaan tidak terhambat oleh kata yang belum dipahami maknanya.
- Akan lebih baik bila guru menyediakan pertanyaan pemandu agar pembacaan siswa menjadi lebih terfokus.
- Pertanyaan pemandu supaya disesuaikan dengan unsur yang akan ditemukan oleh siswa bila pemahaman bacaan sastra dilakukan secara partial. Artinya bila anak hanya disuruh menemukan tokoh, maka pertanyaan pemandunya diperuntukkan dalam pencarian tokoh dan penokohan, tidak disisipi dengan pertanyaan terhadap unsur lainnya.
- Melakukan pembelajaran sastra dan bahasa pada umumnya memang membuat guru jenuh karena tidak ada bahan sebagaimana mata pelajaran lainnya. Oleh karena itu kreativitas guru membuat pembelajaran menjadi lebih menyenangkan bagi bagi siswa sangat diperlukan

Penutup
Bahan bacaan sastra sebagaimana bahan ajar ketrampilan berbahasa lainnya perlu diajarkan kepada siswa secara lebih kreativ dan cerdas agar anak memiliki bekal batin untuk melaksanakan pembelajaran seumur hidup, belajar hidup bersama, belajar untuk bekerja, dan lebih penting lagi belajar menghidupi hidup. Bahan bacaan sastra dapat mewarnai kehidupan anak menjadi lebih indah sesuai nilai seni yang dimunculkan. Dipadu dengan pembelajaran Agama, IPTEK, maka hidup anak akan menjadi indah, terarah dan mudah. Semoga!


Nurali, M.Si
Kasi Kurikulum SD
Disajikan dalam Diklat Peningkatan Kompetensi Guru Bahasa Indonesia
Sekolah Dasar/Madarasah.

Selasa, 02 Juni 2009

BOOMING GURU BERMUTU DI SEKOLAH DASAR TINGGAL TUNGGU WAKTU

Oleh : Nurali*

Hadirnya Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah mendapatkan respon dari masyarakat. Terlepas respon positif dari kalangan guru maupun respon negative dari PNS lainnya yang merasa dianaktirikan Demikianlah seyogyanya jika bangsa Indonesia menginginkan rakyat yang cerdas, yang akan tetap survival dalam percaturan dunia global. Hanya gurulah yang mampu mengantarkan rakyat dalam kehidupan yang lebih bermartabat.
Pemerintah Daerah di masing-masing Provinsi, Kabupaten maupun Kota tampaknya cukup responsive terhadap UURI Nomor 14 Tahun 2005. Di Jawa Timur contohnya, dan seluruh Kabupaten yang ada, meresponnya dengan memberikan insentif terhadap guru yang ada khususnya guru-guru swasta. Dengan demikian, para guru, meskipun masih belum menjadi PNS sudah ikut merasakan kue manis yang disajikan UURI Nomor 14 Tahun 2005.
Persoalan yang muncul kemudian adalah setiap Satuan Pendidikan ramai-ramai melakukan rekrutmen guru honorer, sukarelawan atau apapun istilahnya dengan jumlah melebihi kebutuhan yang ada. Dalam pengamatan penulis, di tiap-tiap sekolah sekurang-kurangnya terdapat dua orang guru tenaga honorer, disamping guru PNS yang sudah disediakan pemerintah.
Guru-guru yang direkrut tersebut rata-rata memang masing masih muda, energik tentunya dapat dihandalkan kecakapannya dalam membantu penyelenggaraan Satuan Pendidikan. Apalagi bila Kepala Sekolah sudah menjelang usia pensiun sementara guru lainnya juga sudah tua, kehadiran guru honorer sangat diharapkan. Hanya saja, pola rekrutmen yang ada masih belum terbebaskan dari pola KKN serta belum adanya standar kompetensi sebagai pedoman.

BOOMING GURU
Kondisi tersebut masih berjalan aman dan lancar mengingat keberadaan guru di masing-masing satuan pendidikan masih belum memenuhi Standar Nasional Pendidikan. Bila masing-masing Satuan Pendidikan telah berhasil memenuhi Standar yang ada maka dapat dipastikan akan timbul yang disebut “Booming Guru” atau ledakan jumlah guru.
Belum terpenuhinya jumlah guru khusunya di Sekolah Dasar meskipun telah adanya rekrutmen guru honorer disebabkan guru-guru yang direkrut belum memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan peraturan perundang-undangan. Sementara di SLTP dan SMU banyak guru yang lebih suka mengambil jam minimal agar dapat lebih banyak mengajar di sekolah Swasta. Mereka tidak begitu memikirkan urusan kenaikan pangkat karena rata-rata pangkat mereka sudah tinggi.
Persoalan akhirnya muncul ketika dalam proses sertifkasi mempersyarakatkan jam mengajar minimal yang harus dilakukan oleh guru adalah 24 jam tatap muka. Karena dirasa hasil sertifikasi lebih menggiurkan dibandingkan mengajar di sekolah swasta, maka ramai-ramai meminta jam mengajar sesuai dengan ketentuan. Akibatnya terjadilah ledakan (booming) jumlah guru. Guru-guru yang sebelumnya hanya mengajar kurang dari 24 jam bahkan kurang dari perysratan minimal 18 jam meminta kewajibannya mengajar minimal 24 jam.
Di beberapa daerah persoalan yang timbul akibat booming guru sudah mulai tampak. Salah satu SMU di Surabaya dengan terpaksa memberhentikan beberapa guru honorernya karena kebutuhan gurunya telah terpenuhi. Di sekolah lainnya ada guru yang terpaksa tidak bisa mengikuti sertifikasi karena tidak bisa memenuhi jam wajib mengajar 24 jam perminggu sebagaimana dipersyarakatkan pada Peraturan Pemerintah 74 Tahun 2007.
Di Sekolah Dasar masih belum muncul persoalan yang menonjol. Hal tersebut disebabkan, guru honorer yang direkrut masih belum berkualifikasi S-1, masa kerja juga belum mencapai duapuluh tahun, para guru PNS pun juga masih banyak yang belum berkualifikasi S-1, sehingga belum mendapatkan jatah untuk mengikuti sertifikasi, Kemauan para guru honorer untuk mengajar di Sekolah Dasar lebih banyak didorong keinginan untuk mendapatkan surat tugas mengajar yang menjadi syarat untuk melanjutkan pendidikan di beberapa Lembaga Pengembangan Tenaga Kependidikan (LPTK), atau mendapatkan Surat Keputusan Bupati sebagai tenaga honorer yang nantinya berharap dapat diangkat sebagai PNS. Mendapatkan insentif mungkin tidak menjadi motivasi yang dominan.
Pada saatnya para guru honorer di Sekolah Dasar berikut guru PNS lainnya memiliki kualifikasi S-1, persoalan yang sama pasti akan datang juga. Saat ini rata-rata para tenaga honorer di Sekolah Dasar beserta guru PNS masih duduk di semester 4 – 6. beberapa guru lainnya bahkan belum melanjutkan ke jenjang S-1. Secara matematis dalam kurun waktu 2 sampai 4 tahun, para aparat pendidikan harus siap mengeleminir persoalan yang muncul.

BERMUTU
Sejalan dengan upaya peningkatan kompetensi guru secara berkelanjutan, Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan pemerintah Belandan mengadakan program BERMUTU (Better Education trouht Reformed Management Universal Teacher Upgrading) atau Peningkatan Mutu Pendidikan melalui Peningkatan Kinerja Guru (Dugananda, File pelatihan). Program tersebut dianggap layak untuk dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang ada. Melalui program tersebut guru-guru masih dapat aktif melaksanakan pembelajaran di Satuan Penddikan masing-masing sekaligus terupgrade kompetesinya.
Program BERMUTU memberikan layanan kegiatan secara total baik kepada guru PNS maupun non PNS melalui kegiatan Kelompok kerja Guru (KKG) maupun Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Output kegiatannya selain guru-guru tertingkatkan kompetensinya, hasil kinerjanya dapat diakomodasi melalui pengakuan LPTK sebagai bagian dari SKS yang sudah ditempuh. Kegiatan KKG dan MGMP menjadi salah satu primadona guna mempercepat pemerolehan kualifikasi S-1. Artinya Program Bermutu, juga menjadi salah satu penyebab percepatan pemerolehan kualifikasi akademis bagi para guru.
Selain melibatkan komponen KKG dan MGMP, para pejabat yang membina kedua organisasi tersebut juga dilibatkan, yaitu Kelopok Kerja Kepala Sekolah (KKKS) dan Kelompok Kerja Pengawas sekolah (KKPS). Pada tataran lintas sektoral dilibatkan juga Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) dan Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS). MKKS adalah sekumpulan Kepala Sekolah lintas jenjang yang berkumpul, bermusyawarah untuk menelorkan strategi dalam kegiatan KKKS, KKG maupun MGMP, sedangkan MKPS merupakan gabungan Pengawas Sekolah dari setiap jenjang pendidikan yang juga bermusyawarah dalam mementuka strategi pembinaan kepada komponen organisasi yang lebih kecil.

BOOMING GURU BERMUTU
Hasil dari kedua kondisi tersebut adalah melubernya jumlah guru, dan guru tersebut merupakan guru yang berkualitas. Guru berkualitas dihasilkan oleh program BERMUTU. Penigkatan kualitas melalui KKG dan MGMP diakui sebagai sebagai dari SKS yang harus ditempuh dalam peningkatan kualifikasi akademis S-1. ibaratnya plus kali plus menjadi kuadrat kualitas.
Kenyataan tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan guru dalam jangka panjang memang sangat prospekstif, sebab para guru akan banyak terkurangi karena pension. Selanin itu di setiap Satuan Pendidikan akan tersediakan tenaga-tenaga yang handal dalam mengelola proses pembelajaran.
Resiko yang akan ditanggung adalah setiap satuan pendidikan akan kekurangan jam untuk memberikan porsi mengajar sekurang-kurangnya 24 jam. Secara matematis dapat dihitung, jumlah jam pelajaran secara standar sebanyak banyaknya adalah 201 jam pelajaran dalam satu minggu. Jumlah tersebut hanya cukup untuk mengakomodasi delapan orang guru plus Kepala Sekolah. Bila jumlah gurunya lebih banyak dari sembilan orang pasti akan menimbulkan komplain dari guru yang kurang dalam pembagian jam.
Bila kondisi tersebut dibiarkan pasti menimbulkan hal-hal yang tidak kondusif bagi pelaksanaan pembelajaran di Satuan Pendidikan yang bersangkutan. Kondisi satuan Pendidikan yang tidak kondusif mustahil menghailkan kualitas pembelajaran yang maksimal. Dikhawatirkan hasil program BERMUTU justru menghasilkan produk yang tidak bermutu. Meskipun tidak bermutunya produk tidak disebabkan oleh program BERMUTU secara langsung.

TUNGGU WAKTU
Konsep tunggu waktu pada sub judul tersebut tentunya mengandung dua pengertian. Pengertian pertama, bila tidak segera diatasi maka tunggulah waktu carut marutnya dunia pendidikan. Carut marutnya keadaan karena dipicu kondisi melebihnya jumlah guru yang tidak terakomodasi dalam proses sertifikasi. Carut marut juga disebabkan saling komplain antara guru satu dengan guru lainnya terkait kinerja yang dilakukan. Mungkin salah satu guru merasa memiliki kinerja yang baik tetapi tidak terakomodasi dalam sertifikasi, sedangkan guru lain yang dirasa kinerjanya kurang baik terekrut dalam sertifikasi.
Sisi positif bisa juga muncul dari sudur pandang pertama, mungkin setiap guru akan bersaing menunjukkan kinerja yang maksimal agar bila tiba giliran untuk sertifikasi tidak dikomplain oleh guru lain. Mereka akan berlomba mengelola pembelajaran sesuai dengan pemahaman yang telah didapatkan melalui upgrading pada program BERMUTU. Bila hal tersebut yang terjadi maka dampak positiflah yang akan didapatkan. Antar Satuan Pendidikan berlomba-lomba dalam kebaikan. Hasilnya tentu akan sangat memuaskan.
Pengertian kedua tersirat sebuah harapan, marilah kita tunggu waktu yang tepat agar Dinas Pendidikan Provinsi atau Kabupaten/kota yang memiliki persoalan senada segera mengambil kebijakan yang diperlukan. Kebijakan yang dibutuhkan adalah penstandaran jumlah guru pada setiap Satuan Pendidikan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan. Bila memang nantinya terjadi penstandaran oleh masing-masing pemerintah Kabupaten/Kota seyogyanya setiap Satuan Pendidikan juga mendukung dan melaksanakan.
Bila upaya penanganan dalam bentuk penstandaran kebutuhan ideal guru setiap Satuan Pendidikan oleh Pemerintah Kabupaten masing-masing tidak direspon dengan baik, maka tunggu waktu, kehancuran akan segera datang! Namun demikian, sesuai dengan norma yang berkembang di dunia pendidikan suasana kondusif itulah yang diharapkan. Tentunya segenap insan pendidikan akan selalu menunggu waktu agar program BERMUTU benar menjadikan guru semakin bermutu yang terimplikasi pada siswa yang juga bermutu. Mari kita tunggu, semoga!

Ancol, 3 Juni 2009
Wong Lemu.

PTK : MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENYUSUN RPP

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Seorang guru profesional harus dapat mempertanggungjawabkan pembelajaran yang dikelolanya. (Tim FKIP, 2007:12). Untuk dapat mengelola pembelajaran dengan baik maka guru harus merencanakan setiap tahapan pengelolaan pembelajaran yang akan dilakukannya sehingga setiap guru perlu menyusun rencana pembelajaran secara sistematis.
Rencana pembelajaran yang sistematis adalah rancana pembelajaran yang antara komponen satu dengan komponen lainnya saling berhubungan secara fungsional dalam rangka mencapai kompetensi dasar (Depdikbud: 2006:14). Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang sistematis tidak bisa dilakukan bila tidak menggunakan pedoman yang baku. Pedoman baku tersebut pada dasarnya telah disediakan, yaitu Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses.
Kondisi yang ada di lapangan belum semua guru telah menyusun RPP Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) sesuai dengan Standar. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, pertama, sejak tahun 2003 kurikulum yang dipergunakan di sekolah-sekolah masih belum memilki kepastian hukum, sehingga ketika hendak diimplementasikan pada penyusunan RPP belum memiliki acuan yang pasti. Sebagian sekolah masih menggunakan kurikulum 1994 dengan suplemen tahun 1999, sebagian lagi telah beranjak menggunakan kurikulum berbasis kompetensi yang mulai disosialisasikan.
Bentuk-bentuk RPP yang ditemukan dalam pelaksanaan supervisi adalah sebagai berikut : ada guru yang telah mendapatkan sosialisasi KBK mencoba menyusun RPP, tetapi kurikulum yang dipakai adalah kurikulum 1994, karena buku ajar yang ada masih mengacu pada kurikulum 1994. Sebagian lagi guru telah mendapatkan Kurikulum Berbasis Kompetensi tetapi karena belum mendapatkan sosialisasi penyusunan RPP model KBK maka tetap menggunakan RPP model PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional). Ada juga guru yang karena satu dan lain hal, menggunakan RPP yang diberikan penjual buku di tiap-tiap kelas, tanpa dilihat ketika melaksanakan pembelajaran.
Kenyataan di atas bila para pengawas hendak memberikan bimbingan dalam penyusunan RPP misalnya, masih menemui beberapa kendala, antara lain pemahaman yang belum seragam antara guru yang satu dengan yang lain, kondisi sekolah satu sengan sekolah lain dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Yang terjadi, kondisi yang ada dibiarkan berjalan sesuai kemampuan pencerapan masing-masing guru terhadap fenomena yang sedang berkembang. Konsekwensi pekerjaan guru sebagai profesi menjadi belum dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum maupun moral.
Kedua, para guru yang telah menyusun RPP masih terkesan proforma dan melengkapi kewajiban saja, yang penting ada RPP di kelas, apa pun bentuknya. Pada kondisi yang demikian para guru yang melaksanakan pembelajaran lebih banyak menggantungkan diri pada buku teks yang ada. Apa yang tertera dalam buku teks itulah bahan ajar yang disampaikan kepada peserta didik. Pendekatan kurikulum yang berorientasi pada tujuan hampir lepas dari pola pikir para guru.
Dengan demikian harapan agar guru dapat bekerja secara profesional yang ditandai dengan pertanggungjawaban atas kinerja sesuai tuntutan standar kompetensi guru masih jauh dari jangkauan. Pembelajaran yang diharapkan terencana dengan matang, serta mampu meningkatkan aktivitas peserta didik yang tidak hanya menerima begitu saja materi dari guru belum sepenuhnya terlaksana. Apalagi bila menengok tingkat pendidikan guru yang belum berkualifikasi sesuai tuntutan ditambah heterogennya usia guru, jelas menjadi masalah tersendiri dalam rangka menjadikan guru sebagai tenaga pendidik yang benar-benar profesional.
Alasan ketiga, kebijakan pelaksanaan in service training baik dalam bentuk advokasi, maupun pelatihan belum mampu menyentuh guru secara keseluruhan. Hal tersebut memicu kesenjangan pemahaman antara guru yang satu dengan yang lain. Bila hasil-hasil pelatihan hendak diimbaskan melalui KKG (Kelompok Kerja Guru) seringkali timbul masalah ketidakpercayaan baik dari penyampai materi maupun penerima informasi. Secara praktis hasil-hasil pelatihan hanya menjadi milik pribadi dari guru yang dikirim.
Hal tersebut berbeda sekali dengan model in service training yang dilakukan pada tahun 1980-an. Pada tahun tersebut pelatihan diadakan secara berjenjang mulai dari tingkat Propinsi, Kabupaten, Kecamatan hingga sekolah, dan menyentuh guru secara keseluruhan. Mulai dari pejabat di Departemen, mendapatkan pelatihan dari tingkat Propinsi, kemudian yang bersangkutan menyampaikan pada pejabat di Kecamatan, pejabat di Kecamatan kemudian menyampaikan kepada seluruh guru yang ada. Dengan cara demikian, hasil pelatihan lebih dapat dinikmati oleh semua guru, evaluasi dapat dilakukan dengan jelas, kelemahan yang ditemukan secara langsung dapat ditindaklanujuti.
Berdasarkan fenomena di atas, kiranya perlu dicari solusi yang tepat agar penyiapan guru menjadi tenaga yang benar-benar profesional dapat dilakukan secara terencana, teratur, terarah sehingga mendapatkan hasil sesuai harapan. Solusi tersebut tentunya harus mampu menyentuh kebutuhan guru, serta melibatkan pihak-pihak terkait secara integral.
Pada pertengahan tahun 2006 ketika pelaksanaan Standar Isi sesuai Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 telah digulirkan, sudah mulai muncul konsep yang hampir baku dalam hal penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Hanya saja mengingat Standar Proses merupakan bagian integral dari pelaksanaan Standar Isi Pendidikan Dasar baru dikeluarkan tahun 2007, kepastian hukum juga baru dimulai pada tahun tersebut.
Untuk itu, mengingat telah didapatkan pijakan hukum tentang penyusunan RPP yang pasti, guru harus segera mendapatkan informasi tentang adanya aturan tersebut. Sosialisasi, pembinaan atau apapun namanya pada pinsipnya telah dilakukan. Melalui proses supervisi juga telah dilaksanakan pembinaan, akan tetapi hasilnya masih belum memuaskan.
Teknik yang dipergunakan dalam melakukan pembinaan khusunya melalui supervisi Pengawas Sekolah (Depdikbud, 1994:6), meliputi : kunjungan kelas, observasi kelas, percakapan pribadi, kunjungan antara kelas, rapat rutin, pertemuan gugus, kunjungan antar KKG, sistem magang, penataran tingkat lokal, karyawisata dengan guru, serta penyebaran informasi melalaui media massa ataupun media elektronik.
Teknik-teknik di atas dalam pelaksanaannya menemukan beberpaa kendala. Teknik-teknik kunjungan kelas, observasi kelas, percakapan pribadi, terlalu memakan waktu untuk menjangkau semua guru yang ada. Teknik kunjungan antar kelas, maupun gugus, rapat rutin, penataran lokal terbentur dengan biaya dan mengganggu jam efektif bila terlalu sering dilakukan, sementara untuk penyebaran informasi melalui media masih terganjal keterbatasan dana dan sarana yang dimiliki sekolah. Untuk itu dipilih teknik yang merupakan gabungan dari beberapa teknik tersebut berupa bimbingan kelompok.
Bimbingan kelompok dimungkinkan lebih efektif karena bisa dilakukan secara kelompok besar yang anggota kelompok tersebut dapat mengimbaskan kepada teman di sekolah masing-masing. Pelaksanaan bimbingan kelompok dapat diadakan secara berkala dan dipilih waktu yang tidak menganggu jam efektif mengajar. Selain itu, bimbingan kelompok juga dapat dilakukan secara tuntas kepada masing-masing guru pada kelompok tertentu yang sama tingkatannya, misalnya guru kelas I, II dan seterusnya. Bimbingan kelompok mampu mengakomodasi seluruh guru, sebab bila hanya dilakukan melalui pertemuan gugus maka peserta bimbingan terbatas hanya dalam gugus yang bersangkutan.
Terkait dengan fakta-fakta di atas hendak diadakan Penelitian Tindakan Sekolah dengan judul, ”Meningkatkan Kemampuan Menyusun RPP Sesuai Standar Proses (Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007) melalui Bimbingan kelompok Guru kelas IV Sekolah Dasar Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang Tahun 2008” yang hasil-hasilnya diharapkan mampu memberikan solusi dalam rangka peningkatan kemampuan guru khususnya dalam menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran.


B. Rumusan Masalahan dan Pemecahannya
Masalah yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut:
- bagaimana metode bimbingan kelompok dapat meningkatkan kemampuan menyusun RPP sesuai dengan Standar Proses (Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007) bagi guru kelas IV Sekolah Dasar di Kecamatan Diwek?
Metode bimbingan kelompok dipilih dalam rangka meningkatan kemampuan guru dalam menyusun RPP sesuai dengan Standar Proses (Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007) berdasarkan fakta-fakta yang didapat dari latar belakang pelaksanaan penelitian. Metode tersebut dimungkinkan lebih efektif dari metode lainnya, mengingat kelebihan yang dimiliki.
Langkah pemecahan masalah yang akan ditempuh adalah sebagai berikut :
- mengumpulkan seluruh guru kelas empat pada salah satu Pusat Kegiatan Guru di Kecamatan Diwek
- memerintahkan untuk membawa foto copy RPP yang telah dibuat sebagai dasar untuk melihat perkembangan kemampuan setelah dan sebelum diberikan bimbingan
- memberikan informasi tentang peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses sebagai acuan dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
- melakukan tindakan dengan membimbing guru kelas IV dalam menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran sesuai dengan Standar Proses
- menilai Rencana Pelaksanaan pembelajaran yang telah dibuat oleh guru
- mengembalikan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang telah dibuat dan memberikan catatan-catatan tentang bagian bagian yang harus disempurnakan
- menugaskan menyusun kembali satu RPP sesuai Standar Proses serta merevisi kekeliruan yang dilakukan setelah tindakan pertama dilakukan
- mengevaluasi keberhasilan dalam penyusunan RPP setelah mendapatkan bimbingan secara kelompok

C. Tujuan
Tujuan pelaksanaan Penelitian Tindakan Sekolah ini adalah sebagai berikut :
1. meningkatkan kemampuan guru dalam menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran sesuai dengan Standar Proses (Permendiknas Nomor 41 tahun 2007)
2. mendapatkan deskripsi tentang proses bimbingan kelompok yang mampu meningkatkan kemampuan guru dalam menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran sesuai dengan Standar Proses (Permendiknas nomor 41 Tahun 2007)



D. Manfaat Penelitian
Akhir penelitian ini diharapkan tersusun sebuah laporan hasil Penelitian Tindakan Sekolah yang mampu memberikan manfaat kepada:
1. Guru
- mendapatkan bimbingan dalam menyusun RPP sesuai dengan Standar Proses (Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007)
- meningkatkan profesionalisme sebagai guru
2. Kepala Sekolah
- mendapatkan bantuan dalam mensupervisi guru dalam menyusun perangkat administrasi pembelajaran khususnya Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
- meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang dapat dimanfaatkan untuk membimbing guru dalam menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
3. Siswa
- sarana mendapatkan pelayanan pembelajaran yang prima dari guru
- meningkatkan komptensi siswa sesuai mata pelajaran yang diajarkan guru
4. Sekolah
- meningkatkan kualitas sekolah
- meningkatkan citra sekolah di mata stakeholder


E. Hipotesis Tindakan
Hipotesis diartikan sebagai jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto, 1998 : 67). Disebut jawaban sementara mengingat dalam setiap pemecahan atas sebuah masalah tidak selalu sekali jalan. Jawaban akan ditemukan tahap demi tahap sesuai dengan langah penelitian yang dilakukan.
Jawaban atas sebuah masalah dibedakan atas jawaban pada taraf kebenaran teoritik, dan jawaban pada tahap praktik, jawaban teoritik diperoleh melalui membaca teori-teori yang relevan sedangkan jawaban praktis didapatkan setelah melakukan penelitian.
Dalam penelitian ini peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut: bahwa melalui bimbingan kelompok kemampuan guru kelas IV Sekolah Dasar di Kecamatan Diwek dalam menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran sesuai Standar Proses (Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007) akan meningkat.





















BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Tindakan
Mengutip pendapat Carr dan Kemmis (Wardani, 2007 : 1.3) Penelitian Tindakan memiliki cakupan makna sebagai berikut, bahwa penelitian tindakan adalah bentuk inquiri atau penyelidikan yang dilakukan melalui refleksi diri, penelitian tindakan dilakukan oleh peserta yang terlibat dalam situasi yang diteliti, seperti guru, siswa atau kepala sekolah, penelitian tindakan dilakukan dalam situasi sosial, termasuk situasi pendidikan, penelitian tindakan bertujuan untuk memperbaiki.
Berdasarkan pendapat di atas penelitian tindakan dapat dilakukan pada lokasi yang bebas, dan dilakukan oleh person yang terlibat dalam situasi dan kondisi yang ada. Lokasi tersebut selanjutnya akan menjadi bagian nama dari penelitian tindakan yang dilakukan. Hal ini sesuai dengan pendapat Suhardjono (2007:36) bahwa penelitian tindakan banyak dilakukan oleh para guru maupun pengawas. Bila dilakukan oleh guru umum disebut sebagai Penelitian Tindakan Kelas. Sedangkan bila dilakukan oleh Pengawas Sekolah disebut sebagai Penelitian Tindakan sekolah.
Dengan demikian konsep dilakukan oleh siapa masih mengacu pada pengertian ruang lingkup dan situasi keterlibatan peneliti. Bila dilakukan oleh guru maka ruang lingkup penelitian berada di ruang kelas, merefleksikan kondisi pembelajaran yang terjadi di dalam kelas. Bila dilakukan oleh Pengawas Sekolah, akan menjadi Penelitian Tindakan Sekolah dan ruang lingkupnya meliputi seluruh areal yang ada di sekolah mulai komponen input, output maupun proses yang dilaksanakan oleh sekolah. Oleh karena itu setiap konsep, prinsip, teori yang dipergunakan dalam pelaksanaan tindakan kelas sudah secara otomatis menjadi teori juga bagi Penelitian Tindakan Sekolah.
Oleh karena itu menurut Suhardjono, Tujuan Penelitian Tindakan Sekolah yang dilakukan Pengawas Sekolah antara lain:

- Meningkatkan mutu isi, masukan, proses, dan hasil pendidikan dan pembelajaran termasuk mutu guru, kepala sekolah, khusunya yang berkaitan tugas fungsional kepengawasan, di skeolah-sekolah yang menjadi binaannya
- Meningkatkan kemampuan dan sikap profesional sebagai pengawas sekolah
- Menumbuhkembangkan budaya akademik di lingkungan sekolah sehingga tercipta sikap proaktif di dalam melakukan perbaikan mutu pendidikan (Suhardjono, 2008:36)

Suhardjono juga menambahkan bahwa ciri khusus Penelitian Tindakan Sekolah adalah adanya tindakan nyata, dan dilakukan pada situasi yang alami dengan tujuan memecahkan masalah-masalah praktis. Tindakan yang dilakukan secara sengaja dengan tujuan tertentu pula. Tindakan nyata artinya tidak imajiner, situasi alami artinya tidak dibuat-buat atau disetting sebagaimana penelitian laborat
Langkah-langkah pelaksanaan penelitian tindakan, baik tindakan kelas maupun tindakan sekolah terdiri empat rangkaian kegiatan dalam siklus yang berulang. Empat kegiatan pada setiap siklus adalah perencanaan, tindakan, pengamatan dam refleksi.
Perencanaan tindakan dalam penelitian tindakan kelas lazimnya disebut dengan istilah merencanakan perbaikan (Wardani, 2007:2.10), langkah-langkah yang ditejpuh adalah merumuskan hipotesis seabgai cara untuk mengatasi masalah, dan mengalisis kelayakan hipotesis. Perumusan hipotesis dimaksudkan sebagai poses awal untuk menemukan jawaban. Proses tersebut dapat dilakukan melalui mengkaji beberapa teori yang relevan, diskusi dengan teman sejawat serta refleksi pelaku penelitian sesuai dengan pengalaman yang dimiliki. Atas dasar tiga kegiatan tersebut muncullah jawaban sementara sebagai langkah awal melakukan tindakan.
Bila hipotesis telah tersusun langkah kedua adalah melakukan analisis atas hipotesis dari segi kemampuan melaksanakan tindakan, kondisi fisik sujek dalam mengikuti instruksi dalam pelaksanaan tindakan, ketersediaan sarana dan fasilitas pendukung tindakan serta iklim kerja yang terjadi pada lingkup penelitian. Berdasarkan hal-hal di atas akan didapat kesimpulan bahwa hipotesis dapat dilaksanakan atau tidak
Pelaksanaan tindakan merupakan implementasi dari perencanaan yang telah disusun. Setiap konsep yang ada dalam perencanaan menjadi dasar bagi pelaksanaan tindakan. Pelaksanaan tindakan sedapat mungkin tidak bergeser dari perencanaan, namun demikian karena kondisi alamiah memang tiak selalu dapat diprediksi dengan tepat, sekiranya ada simpangan masih dapat dilaksanakan sepanjang tidak menyangkut hal-hal yang prinsipil.
Pelaksanaan tindakan disebut juga sebagai action dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. Tanpa adanya action maka masalah tidak akan terjawab. Action selanjutnya dilakukan oleh peneliti, dan akan menimbulkan reaction dari subjek penelitian. Sejauh mana reaction menunjukkan adanya perubahan perilaku dari subjek penelitian maka di situlah letak keberhasilan atau ketidakberhasilan sebuah penelitian.
Keberhasilan reaction selanjutnya ditentukan oleh kesesuaian kriteria yang disusun sebelum action dengan bentuk bentuk reaction positiv dari subjek penelitian. Kriteria keberhasilan berupa konsep ideal yang disarikan dari teori-teori yang sudah baku. Misalnya, sebuah kriteria mengatakan bahwa tindakan dianggap berhasil bila subjek mampu menyusun RPP sesuai dengan Standar Proses, maka Standar Proses inilah konsep ideal yang dijadikan acuan dalam menyusun kriteria keberhasilan.
Proses perujukan antara kondisi harapan dengan kondisi yang ada selanjutnya menjadi langkah ketiga dalam penelitian tindakan, yaitu berupa observasi, atau penialaian atas data penelitian. Proses perujukan juga berarti klarifikasi sejauh mana terdapat perubahan perilaku subjek penelitian akibat adanya tindakan yang telah dilakukan. Sejauh mana reaction sesuai dengan harapan pemberi action.
Perujukan antara harapan dan kenyataan ini dilakukan tidak sekedar melihat dengan mata telanjang apakah dua fenomena telah mengalaman kesamaan atau belum, melainkan dipergunakan instrumen sebagai alat pencatat data. Berdasarkan instrumen akan didapat data yang bisa dikuantitaskan atau dikualitaskan. Demikian juga kondisi ideal yang berupa konsep baku, juga dibuat secara kualitas atau kuantitas. Oleh karenanya hasil akhir kondisi harapan dan kenyataan akan berupa data dengan kerangka pandang yang sama. Bila pada kriteria disajikan secara kuantitas, maka data hasil tindakan juga harus berupa kondisi yang mengacu pada kuantitas. Sebaliknya bila kriteria berupa data kualitas, maka data hasil juga harus berupa kualitas.
Langkah berikunya setalah melakukan pengamatan atas data, maka diadakan refleksi. Menurut IGAK Wardani refleksi tidak ubahnya berdiri di depan cermin untuk melihat kembali bayangan kita atau menmukan kembali kejadian yang perlu dikaji (Wardani, 2007:2.32). Dengan dibantu data hasil, kembali mengingat, mengapa hasilnya demikian, seharusnya kan demikian, apa yang salah, kalau salah bagaimana benarnya, apa yang yang harus dilakukan selanjutnya. Pertanyaan-pertanyaan demikian yang dikembangkan dalam refleksi, sehingga memunculkan konsep baru berupa rencana tindakan ulang untuk memperbaiki kesalahan.
Hasil refleksi berupa satu rancanagan tindakan guna mengeleminir kekurangan yang telah dilakukan. Bisa jadi pelaksanaan tindakan yang dilakukan sudah sesuai dengan rencana, akan tetapi karena situasi dan kondisi yag tidak mendukung sehingga tingkat perhatian subjek penelitian menjadi menurun sehingga mengurangi hasil akhir. Perencanaan ulang dan tindakan ulang ini pun masih mengikuti pola pada seperti pada siklus awal, yaitu perencanaan untuk siklus kedua, pelaksanaan tindakan, observasi dan direfleksikan kembali.
Proses Penelitian Tindakan oleh Suhardjo (2008:38) digambarkan sebagai berikut:
GAMBAR 1
LANGKAH PTS MENURUT SUHARDJONO

Pelaksanaan Tindakan I
Perencanaan Tindakan I
Permasalahan





Refleksi I
Pengamatan/Pengumpulan data
SIKLUS I



Pelaksanan Tindakan II
Perencanaan Tindakan II
Refleksi II
Pengamatan/pengumpulan data II
Permasalahan baru hasil refleksi









SIKLUS II
Bila permasalahan belum terselesaikan
Dilanjutkan siklus berikutnya







Berdasarkan gambar di atas, dapat dibaca bahwa proses penelitian tindakan dapat diibaratkan sebagai sebuah gerakan berputar yang berulang ulang sebagaimana jarum jam (Rachman, 2006:29) atau yang disebut gerakan yang bersifat siklis. Apa yang diawal siklus pertama akan dilakukan kembali pada bagian awal siklus kedua, demikian terus-menerus sampai mendapatkan hasil maksimal, yaitu kemantapan pelaksana tindakan atas hasil yang telah dicapai.

B. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Sesuai Standar Proses (Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007)
Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan (PP Nomor 19 Tahun 2005). Standar proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah mencakup perencanan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran dan pengawasan proses pembelajaran (Permendiknas 41 Tahun 2007). Berdasarkan keduan peraturan perundangan-undangan di atas jelas sekali, bahwa standar proses merupakan pedoman bagi guru dalam penyusunan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan, evaluasi dan pengawasan. Suka atau tidak suka, guru wajib menjadikannya sebagai acuan dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran.
Pedoman dalam penyusunan pelaksanaan pembelajaran sebagaimana tertuang dalam lampiran permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 dikutip secara keseluruhan sebagai berikut:

” RPP dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan ke­giatan belajar peserta didik dalam upaya mencapai KD. Setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
RPP disusun untuk setiap KD yang dapat dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih. Guru merancang penggalan RPP untuk setiap pertemuan yang disesuaikan dengan penjadwalan di satuan pendidikan.
Komponen RPP adalah
1. Identitas mata pelajaran
Identitas mata pelajaran, meliputi: satuan pendidikan, kelas, semester, program/program keahlian, mata pela­jaran atau tema pelajaran, jumlah pertemuan.
2. Standar kompetensi
Standar kompetensi merupakan kualifikasi kemam­puan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diharapkan dicapai pada setiap kelas dan/atau semester pada suatu mata pelajaran.
3. Kompetensi dasar
Kompetensi dasar adalah sejumlah kemampuan yang harus dikuasai peserta didik•dalam mata pelajaran ter­tentu sebagai rujukan penyusunan indikator kompe­tensi dalam suatu pelajaran.
4. Indikator pencapaian kompetensi
Indikator kompetensi adalah perilaku yang dapat diukur dan/atau diobservasi untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang menjadi acuan penilai­an mata pelajaran. Indikator pencapaian kompetensi dirumuskan dengan menggunakan kata kerja opera­sional yang dapat diamati dan diukur, yang mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
5. Tujuan pembelajaran
Tujuan pembelajaran menggambarkan proses dan ha­sil belajar yang diharapkan dicapai oleh peserta didik sesuai dengan kompetensi dasar.
6. Materi ajar
Materi ajar memuat fakta, konsep, prinsip, dan pro­sedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator pencapaian kompe­tensi.
7. Alokasi waktu
Alokasi waktu ditentukan sesuai dengan keperluan un­tuk pencapaian KD dan beban belajar.
8. Metode pembelajaran
Metode pembelajaran digunakan oleh guru untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembela­jaran agar peserta didik mencapai kompetensi dasar atau seperangkat indikator yang telah ditetapkan. Pemi­lihan metode pembelajaran disesuaikan dengan situ­asi dan kondisi peserta didik, serta karakteristik dari setiap indikator dan kompetensi yang hendak dicapai pada setiap mata pelajaran. Pendekatan pembelajaran tematik digunakan untuk peserta didik kelas 1 sampai kelas 3 SD/M I.
9. Kegiatan pembelajaran
a. Pendahuluan
Pendahuluan merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang ditujukan un­tuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.
b. Inti
Kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD. Kegiatan pembelajaran di­lakukan secara interaktif, inspiratif, menyenang­kan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses.eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
c. Penutup
Penutup merupakan kegiatan yang dilakukan un­tuk mengakhiri aktivitas pembelajaran yang dapat dilakukan dalam bentuk rangkuman atau kesimpul­an, penilaian dan refleksi, umpan balik, dan tindaklanjut.
10. Penilaian hasil belajar
Prosedur dan instrumen penilaian proses dan hasil belajar disesuaikan dengan indikator pencapaian kom­petensi dan mengacu kepada Standar Penilaian.
11. Sumber belajar
Penentuan sumber belajar didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar, serta materi ajar, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kom­petensi.” (lampiran Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007)


Berdasarkan pedoman di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut: outline RPP sesuai Standar Proses adalah :
Satuan Pendidikan :
Mata Pelajaran :
Kelas / Semester :
Jumlah pertemuan :
Standar Kompetensi :
Kompetensi Dasar :
Indikator :
Tujuan Pembelajaran :
Materi Ajar :
Alokasi Waktu :
Metode Pembelajaran :
Kegiatan Pembelajaran :
a. Pendahuluan
b. Inti
c. Penutup
Penilaian Hasil Belajar :
Sumber Belajar :

Jabaran outline di atas dapat diuraikan sebagai berikut : identitas RPP sebagaimana tercetak miring, masing-masing diisikan, SDN/SDS/MI, nama mata pelajaran, diajarkan untuk kelas berapa dan semester berapa, dan berapa pertemuan RPP tersebut dibuat. Jumlah jam pertemuan ini disesuaikan dengan program semester yang sudah dibuat serta jadwal hari efektif khususnya jumlah jam untuk standar kompetensi yang dibuat.
Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar dikutip dari Standar Isi (baca GBPP). Indikator dimaknai sebagai ciri penanda sebuah kompetensi, semakin rinci kompetensi dasar dijabarkan dalam indikator, maka semakin mudah diukur dan semakin mewakili makna kompetensi dasar. Bila indikator dibuat kurang mewakili isi kompetensi dikhawatirkan penguasaan anak terhadap kompetensi tidak maksimal. Bahkan bisa menjadi mengambang tanpa sasaran. Untuk untuk penyusunan indkator diupayakan benar-benar mewakili isi kompetensi dasar.
Tujuan penjabaran merupan arah yang harus dicapai dalam pembelajaran. Dipersyaratkan dalam penulisan tujuan mengacu pada proses dan hasil, artinya dengan cara apa indikator tersebut bisa dikuasai anak, dan seperti apa hasil yang ingin dicapai. Untuk ini dapat dicontohkan formulasi kalimatnya sebagai berikut: ’setelah melakukan pengamatan anak mampu menjelaskan bagian-bagian rangka manusia”, artinya untuk dapat mencapai tujuan tersebut anak dipersyaratkan melakukan pengamatan lebih dulu, tidak dengan cara dijelaskan atau diberitahu.
Dengan demikian tujuan apat menjadi pemandu harus seperti apa kegiatan pembelajaran dilakukan, bila dalam tujuan disebutkan misalnya ’melalui diskusi’, maka dalam pembelajaran harus dilaksanakan kegiatan diskusi, bila dalam tujuan tertulis ’melalui mendengarkan’ berarti alam pembelajaran anak harus melakukan proses mendengar. Dari sinilah sebenarnya peran RPP sebagai bentuk pentanggungjawaban profesional guru dalam melaksanakan pembelajaran dapat diketahui. Bila proses-proses tersebut tidak dilalui maka dapat dipastikan bahwa pembelajaran yang berlangsung tidak berbeda dengan model PPSI, yaitu dengan menjelaskan atau ceramah, tanpa melibatkan aktivitas siswa.
Materi ajar persyarakatkan memuat fakta, konsep, prinsip dan prosedur yang relevan. Pada kenyataannya seringkali guru hanya menuliskan pokok-pokok materi saja tanpa penjelasan. Bila hal tersebut dilakukan, maka RPP tidak berbeda dengan skenario tanpa isi. Dari penjabaran materi ajar tersebut diketahui seberapa luas guru mampu menjabarkan materi sebagai bentuk nyata kompetensi dasar yang ada.
Penjabaran materi ajar di satu sisi juga memiliki manfaat dalam rangka pengembangan profesi guru khusunya dalam menyusun diktat pelajaran. Diktat pelajaran sebagai bahan pengayaan pengetahuan peserta didik sangat tepat bila disusun oleh guru secara langsung. Dengan menyusun diktat guru tidak perlu bersibuk diri menyusun karya ilmiah hasil penelitian bila memang tidak tersedia sarana maupun prasarana yang cukup.
Alokasi waktu diisi dengan jumlah waktu yang dibutuhkan dalam mencapai KD. Pengisian alokasi waktu merujuk pada program semester, misalnya dua jam pelajaran, empat jam pelajaran dan sudah dikurangi dengan pelasakanaan ulangan harian.
Metode pembelajaran merupakan cara yang akan ditempuh guru dalam mengupayakan penguasaan kompetensi oleh peserta didik. Cara tersebut dituliskan secara global, misalnya dengan cara penugasan, diskusi, pengamatan, mendengarkan, membaca, dan sebagainya. Jabaran secara riil dari metode pembelajaran tertuang dalam kegiatan pembelajaran.
Kegiatan pembelajaran di dalam RPP merupakan rencana proses pelaksanaan pembelajaran yang telah dirancang oleh guru dalam penguasaan kompetensi. Terbagi menjadi kegiatan pendahuluan, inti dan penutup. Kegiatan pendahuluan berisi kegiatan memancing kesiapan anak mengikuti peroses belajar bentuknya bisa tanya jawab, mengajak menyayi, menunjukkan gambar sebagai starting point menuju materi pokok.
Pada kegiatan inti dituliskan proses yang akan dilalui dalam pembelajaran, mislnya dimulai dari penjelasan singkat trentang tujuan dan proses, aktivitas siswa, seperti diskusi, membaca, mendengar, mengamati, tanya jawab, meresume dan sebagainya. Poin-poin pada kegiatan inti merupakan jabaran riil dari metode yang dipilih. Jadi, bila dalam metode ajar tertulis metode, penugasan, pengamatan, diskusi, dan seramah maka dalam kegiatan inti harus tertulis siswa melakukan pengamatan, mengerjakan tugas mengisi LKS, melakukan diskusi, menentukan simpulan, mendengarkan penguatan yang disampaikan oleh guru. Dalam hal tersebut metode berhubungan langsung dengan kegiatan pembelajaran secara fungsional implementatif. Pada kegiatan akhir, intinya anak diajak merefleksikan pembelajaran yang telah dilaksanakan, untuk apa, manfaatnya apa, konteksnya dengan lingkungan bagaimana, serta memotivasi siswa untuk rajin belajar.
Penilaian dan hasil belajar pada RPP menjelaskan prosedur penilaian yang akan dilakukan, teknik yang dipegunakan dalam menilai serta bentuk instrumen penilaian. Pada bagian tersebut juga disertakan rambu-rambu jawaban bila teknik penilaian menggunakan soal tertulis. Yang tidak kalah pentingnya adalah rubrik penilaian yang beriri ketentuan kondisi seperti apa yang dipersyaratkan sehingga disebut menguasai kompetensi.
Secara fungsional implementatif, prosedur penilaian mendasarkan diri pada kegiatan pembelajaran sedangkan yang telah dilakukan, substansi materi mengacu pada indikator dan tujuan pembelajaran. Dengan demikian antara indikator, tujuan, metode dan kegiatan pembelajaran terjadi matcing atau dalam istilah silabus memimiliki kaitan yang sistematis dan konsisten.
Pada bagian akhir RPP dicantumka sumber belajar. Sumber belajar lazimnya berupa buku, barang cetakan, media pembelajaran, lingkungan yang dapat menyajikan materi ajar. Penulisannya diharapkan secara jelas, rinci dan detail. Misalnya sumber belajar dari buku harus ditulis judul buku, pengarang, penerbit, tahun terbit serta halaman tempat sumber diambil. Hal ini dilaukan agar bila suatu ketika seorang guru berhalangan mengajar dapat disampaikan oleh guru lain, yang pengambilan sumber belajarnya telah terpandu dalam RPP.
Berbagai uraian di atas pada intinya sudah banyak dipahami para guru, hanya saja kaang seorang guru dibelenggu rasa malas sehingga dalam penyusunan RPP terdapat beberapa kekeliruan. Dengan diterbitnya Permen yang mengatur tentang penyusunan RPP sudah ada instrumen baku sehingga wajib dipedomani pada guru dalam menyusun RPP. Rpp yang dibuat oleh guru tidak lagi sekedar memenuhi formalitas tanggungjwab tetapi secara substansi harus benar-benar dilaksanakan agar peningkatan kompetensi peserta didik dapat dicapai secara maksimal.

C Bimbingan Kelompok dalam Penyusunan RPP
Berbagai teknik dalam pelaksanaan supervisi sebagaimana tertuang dalam Pedoman Pelaksanaan Pengawasan (Nurali, 2008) dapat dijadikan acuan dalam pembinaan terhadap guru. Beberapa model yang ada selanjutnya diakumulasi menjadi bentuk bimbingan kelompok Bimbingan kelompok dapat diartikan proses pemberian bimbingan secara berkelompok. Pengertian ini dapat juga dikontraskan dengan bimbingan pribadi, kunjungan kelas, atau percakapan pribadi. Artinya bimbingan kelompok berbeda dengan bimbingan secara pribadi.
Bimbingan kelompok diambil sebagai alternatif karena mampu mengakomodasi peserta dalam jumlah yang agak besar. Hal tersebut akan berbeda jika diterapkan dalam kegiatan KKG karena peserta menjadi sangat terbatas. Bimbingan yang diterapkan dalam kegiatan KKG hanya akan diikuti oleh guru-guru dalam satu gugus yang jumlah 5 – 6 guru saja tiap jenjang kelas.
Bila dilakukan bimbingan secara kelompok maka yang dijadikan subjek adalah guru-guru pada satu tingkatan kelas, misalnya khusus guru kelas IV saja , kelas V saja, atau kelas lainnya. Kesamaan kelas tersebut menjadi sarana dalam pembahasan yang memungkinkan pemahaman ganda yaitu pemahanan terhadap materi juga teknik penyusunan RPP. Apabila secara kebetulan guru kelas yang dibimbing adalah guru yang mampu maka dimungkinkan dapat mengimbaskan kepada guru lainnya dalam satu sekolah. Tetapi bila tidak mampu menyampaikan kepada guru lainnya minimal untuk seorang guru saja asalkan pemahamannya maksimal.
Pada proses bimbingan kelompok karena menyangkut jumlah personal yang lebih dari satu, maka penerapan bimbingan tidak bisa meninggalkan konsep pendidikan orang dewasa atau yang dikenal dengan istilah andragogi (Uno, 2007:55). Dikatakan oleh Hamzah B. Uno bahwa pembelajaran orang dewasa mencerminkan suatu proses dimana orang dewasa belajar menjadi peduli dan mengevaluasi tentang pengalamannya. Pembelajaran orang dewasa tidak dimulai dengan mempelajari materi-materi pelajaran tetapi berdasarkan harapan bahwa pembelajaran dimulai dengan memberikan perhatian pada masalah-masalah yang terjadi dan ditemukan dalam kehidupannya.
Uno (2007:57) mengutip Lindeman menyebut kunci sukses dalam pembelajaran orang dewasa adalah sebagai berikut 1) aktivitas pembelajaran relevan dengan kebutuhan, 2) orang dewasa dalam belajar berpusat pada kehidupannya, 3) pengalaman merupakan sumber belajar terpenting, 4) orang dewasa memiliki kebutuhan yang mendalam untuk menjadi individu yang mampu mengatur dirinya sendiri dan 5) adanya perbedaan karena usia, latar belakang pendidikan harus menjadi perhatian dari pembimbing.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka proses bimbingan kelompok dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. membagikan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses
2. memberikan kesempatan mempelajari khusunya petunjuk penyusunan RPP
3. memberikan kesempatan untuk bertanya apabila didapat konsep-konsep yang belum dipahami
4. mejawab pertanyaan guru dengan terlebih dulu melempar pertanyaan kepada semua peserta
5. memberikan penjelasan singkat khusunya hal-hal yang perlu mendapat perhatian karena seringnya guru melakukan kekeliruan dalam memahami konsep secara umum
6. bila guru sudah memahami konsep, mempersilakan secara langsung berlatih menyusun RPP
7. mendampingi selama proses penyusunan guna membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi guru
8. mengumpulkan hasil kerja berupa RPP yang sudah dibuat guru
Pemilihan model andragogi di atas disisi lain memberikan kesempatan kepada guru untuk menerapkan pilar pilar dalam belajar yaitu learning to know, learning to do, learning to be myself, dan leaning to life together. Dengan pemberian kesepatan seluas-luasnya kepada guru, maka guru dipacu untuk mengaktualisasikan dirinya tanpa ragu. Kebersamaan yang diciptakan memungkinkan guru untuk berkomunikasi dengan teman sejawat tanpa rasa malu. Tuntutan hasil menjadi motivasi untuk melakukan sesuatu atas bahan pengetahuan yang telah dibaca.

C. Kerangka Teori
Berdasarkan beberpa teori yang sudah dirujuk, proses pelaksanaan tindakan dikerangkakan sebagai berikut:


GAMBAR 2
KERANGKA TEORI PROSES TINDAKAN

Guru Yang sudah mampu menyusun RPP belum sesuai standar, guru yang belum mampu menyusun RPP
Diberikan Permendiknas No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses (Pedoman Penyusunan RPP)













Diberikan tugas menyusun RPP sesuai standar proses,



Diberikan bimbingan
Dievaluasi


Guru yang mampu menyusun RPP sesuai dengan Standar proses









BAB III
METODE PENELITIAN TINDAKAN

A. Desain Penelitian
Desain penelitian adalah model gambaran bentuk yang akan diikuti dalam pelaksanaan penelitian (Rachman, 2006:27) Dengan demikian desain berarti gambaran umum pola pelaksanaan penelitian. Adapun isi yang ada dalam penelitian merupakan prosedur yang telah diuraikan secara rinci dan siap dilaksanakan oleh peneliti.
Penelitian ini didesain menggunakan model Stepen Kemmis dan Mc Taggart, dimana Penelitian Tindakan Sekolah merupakan kegiatan siklis yang dalam setiap siklusnya terdapat empat langkah yang harus dilaksanakan. Empat langkah tersebut meliputi perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi. Bila satu siklus yang berupa rangkaian empat kegiatan telah terlaksana akan muncul simpulan bahwa pelaksanaan tindakan telah membawa hasil atau belum.
Simpulan yang direfleksikan dari keempat rangkaian kegiatan akan menjadi rekomendasi bagi siklus berikutnya bila ternyata tindakan belum membawa hasil. Sebaliknya bila tindakan dinyatakan berhasil maka hasil refleksi menjadi rekomendasi untuk pelaksanaan diseminasi hasil penelitian. Dengan adanya diseminasi diharapkan hasil penelitian dapat dimanfaatkan oleh para pengguna hasil sehingga menjadi lebih bermafaat, utamanya dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Berdasarkan uraian di atas, desain penelitian ini dapat digambar sebagai berikut :
GAMBAR 3
DESAIN PENELITIAN

Identifikasi Masalah


Siklus 1
Perencanaan
Refleksi
Observasi
Pelaksanaan


Siklus 2
Refleksi
Observasi
Pelaksanaan
Perencanaan



B. Prosedur Penelitian Tindakan
Penelitian tindakan sekolah ini direncanakan dalam empat langkah kegiatan yang meliputi perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi atau pengamatan, dan refleksi. Sebelum perencanaan tindakan itu sendiri diawali dengan study pendahuluan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan guru dalam menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Kondisi awal tersebut selain menjadi bekal perumusan rencana tindakan juga sebagai pembanding setelah tindakan dilaksanakan. Artinya sejauh mana terjadi perubahan pada subjek penelitian antara sebelum dan sesudah tindakan.
Langkah Penelitian Tindakan Sekolah yang akan dilakukan disajikan sebagi berikut:
a. Perencanaan tindakan
Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam perencanaan tindakan sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan meliputi :
- Menentukan subjek penelitian
- Menyusun materi bimbingan beserta alat yang diperlukan
- Menentukan waktu pelaksanaan bimbingan
- Menyusun format penilaian RPP
- Menentukan kriteria penguasaan kompetensi penyunan RPP
- Menentukan teknik analisis keberhasilan tindakan
b. Pelaksanaan Tindakan
Tindakan yang akan dilaksanakan dalam penelitian adalah mengumpulkan guru kelas IV yang dipilih sebagai subjek penelitian pada salah satu Pusat Kegiatan Guru yang ada di Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang. Pada saat guru sudah berkumpul dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
- memberikan teks Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses beserta lampirannya untuk dibaca dan dipahami
- memberikan kesempatan untuk bertanya kepada guru yang belum memahami dari teks Permendiknas yang telah dibaca
- memberikan penjelasan singkat tentang hal-hal yang krusial dari Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 khusunya dalam penyusunan RPP. Penjelasan difokuskan pada hal-hal yang berbeda dari RPP sesuai dengan Stadar proses dan Model SP, atau RP sebelum berlakunya Permendiknas 41 Tahun 2007
- bila guru sudah memahami konsep RPP sesuai Standar Proses, memberikan tugas kepada guru untuk menyusun RPP sesuai pemahaman terhadap Standar Proses
- melakukan pendampingan terhadap guru yang sedang menyusun RPP sekaligus membimbingnya bila menemukan kesulitan.
c. Observasi
Observasi dalam rangka mengukur ketercapaian tindakan dilakukan setelah guru berhasil menyusun sebuah RPP sesuai Standar Proses. Mengingat outcome beupa hasil kerja maka pengukuran ketercapaian dilakukan melalui penilaian, yaitu menilai hasil kerja. Dalam hal ini peneliti sekaligus berperan sebagai penilai. Hal ini sesuai dengan konsep pengamatan berperanserta dalam penelitian kualitatif (Moleong, 1987:126)
Untuk membantu proses penilaian maka disediakan format instrumen penilaian yang memuat rubrik dari masing-masing komponen yang dinilai. Dengan demikian meskipun peneliti terlibat sebagai pengamat yang berperanserta dimungkinkan masih terjaga objektifitasnya.
Hasil akhir dari penilaian adalah nilai para guru berdasarkan RPP yang telah dihasilkan. Hasil akhir inilah yang selanjutnya dilakukan klarifikasi dengan kriteria keberhasilan tindakan, untuk menentukan apakah tindakan masih perlu dilanjutkan dengan siklus berikutnya atau berhenti hanya pada satu siklus karena dianggap sudah berhasil.
d. Refleksi
Refleksi dilakukan setelah data nilai terkumpul berdasarkan atas penilaian yang telah dilakukan. Refleksi sebagai proses penganganan kembali peristiwa yang telah dilakuan berujung pada simpulan atas kelemahan-kelemahan yang dilakukan selama tindakan beserta keberhasilan yang dicapai. Oleh karena itu, sebelum diadakan refleksi terlebih dulu disajikan data hasil penilaian beserta kriteria yang telah dibuat sebagai tolok ukur penentuan keberhasilan tindakan. Kedua data, antara sebelum tindakan dan sesudah tindakan selanjutnya dibandingkan sebagai dasar penentuan simpulan

C. Subjek Penelitian
Berbicara tentang subjek penelitian pada prinsipnya tidak dapat dilepaskan dari sumber data penelitian. Sumber data penelitian adalah subjek dari mana data dapt diperoleh (Arikunto, 1998 : 114). Berdasarkan pengertian subjek dalam sumber data, maka subjek penelitian ini adalah guru sekolah dasar di kecamatan Diwek.
Guru yang dipakai sebagai sumber data penelitian adalah yang mengajar di kelas IV. Pemilihan guru kelas empat dijadikan sumber data penelitian karena menyesuaikan diri dengan pelaksanakaan Standar Isi yang dilakukan secara bertahap, dimulai dari kelas satu dan empat.
Adapun nama-nama guru sebagai subjek penelitian adalah sebagai berikut:
TABEL 1
DAFTAR NAMA SAMPEL PENELITIAN

No
Nama
Asal Sekolah/SDN
1
Sunarmi
Bulurejo III
2
Tutik Riyoyoningsih
Kwaron I
3
Sutrisno
Jatirejo
4
Sugito
Bendet
5
Endang Pujiati
Keras II
6
Prihatininsih
Grogol I
7
Anik W
Dukuhpundong I
8
Ghozali
Puton I
9
Sri Banowati
Watugaluh
10
Sri Harnanik
Diwek II
11
Nur Aini
Diwek I
12
Titin Suhartilah
Cukir II
13
Sri Wahyuni
Balongbesuk II
14
Suwarni
Jatipelem I
15
Endah Admajaningrum
Brambang
16
Suharniati
Bandung I
17
Kasmi
Dukuhpundong II
18
Endang Koesmiati
Ceweng I
19
Hamidah
Kayangan II
20
Fatimah
Kwaron II
21
Hastin Nadhifah
Ngudirejo I
22
Ita Wijiatutik
Grogol II
23
Novi Trisnawati
Pandanwangi I
24
Aryanti KW
Puton II
25
Siti Munifah
Jatipelem II
26
Titik Marlina
Bulurejo I
27
Kartika Tri W
Kedawong
28
Niswati Aliyah
Cukir I
29
Adi Cahyono
Keras I
30
Erma Rochimah
Ngudirejo II
31
Sukartin
Bulurejo II
32
Yulina
Balingbesuk I
33
Yatemi
Bandung II
34
Nur Cahayatin
Ceweng II
35
Bambang Suharto
Kayangan I
36
Eni Indarti
SDN Pandanwangi II

D. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang yang dalam pelaksanaan tindakan dilakukan di SDN Cukir II. Adapun penelitian dilakukan selama satu bulan yaitu pada bulan September 2008.

E. Instrumen Penelitian
Instrumen merupakan alat yang dipakai dalam pengumpulan data penelitian. Instrumen dalam penelitian ini berupa rubrik sebagai alat untuk menilai hasil guru dalam penyusunan RPP. Nilai yang didapat dari rubrik selanjutnya ditabulasikan dalam data penilaian. Instrumen dimaksud adalah :



TABEL 2
INSTRUMEN PENILAIAN RPP

No
Aspek Yang dinilai
Skor
0
5
10
15
20
1
Penyusunan Tujuan
0
5
10
15
20
2
Penyusunan Indikator
0
5
10
15
20
3
Pemaparan Materi Ajar
0
5
10
15
20
4
Perencanaan Kegiatan Pembelajaran
0
5
10
15
20
5
Penyusunan Alat Evaluasi
0
5
10
15
20

Rubrik Penilaian:
Penyusunan Indikator
Skor 20
Apabila Indikator dirumuskan sesuai dengan KD, menggunakan kata-kata operasional, dapat diukur, menyangkut pengetahuan ketrampilan dan sikap
Skor 15
Apaila indikator dirumuskan sesuai KD, menggunakan kata-kata operasional, dapat dikur, menyangkut pengetahuan dan ketrampilan saja
Skor 10
Apabila indikator dirumuskan sesuai KD, menggunakan kata-kata operasional, dapat diukur, menyangkut pengetahuan saja
Skor 5
Apabila indikator dirumuskan sesuai KD, menggunakan kata-kata operasional
Skor 0
Apabila tidak menyusun indicator
Penyusunan Tujuan Pembekajaran
Skor 20
Tujuan dirumuskan sesuai dengan indikator dan atau yang telah diperluas, menyangkut proses dan hasil belajar, menggunakan kata-kata operasional, dapat diukur,
Skor 15
Tujuan dirumuskan sesuai dengan indikator dan atau yang telah diperluas, menyangkut proses dan hasil belajar, menggunakan kata-kata operasional
Skor 10
Tujuan dirumuskan sesuai dengan indikator dan atau yang telah diperluas, menyangkut proses dan hasil belajar,
Skor 5
Tujuan dirumuskan sesuai dengan indikator dan atau yang telah diperluas
Skor 0
Tidak menyajikan tujuan pembelajaran
Pemaparan Materi Ajar
Skor 20
Materi Ajar sesuai dengan indikator dan tujuan, dimulai dari pokok materi, diuraikan berdasarkan konsep, prinsip, diberikan contoh riil
Skor 15
Materi Ajar sesuai dengan indikator dan tujuan, dimulai dari pokok materi, diuraikan berdasarkan konsep, prinsip
Skor 10
Materi Ajar sesuai dengan indikator dan tujuan, dimulai dari pokok materi
Skor 5
Materi Ajar sesuai dengan indikator dan tujuan
Skor 0
Tidak memuat materi ajar
Perencanaan kegiatan pembelajaran
Skor 20
Merupakan jabaran dari metode pembelajaran, terdiri dari kegiatan pendahuluan, inti dan penutup beserta langkah-langkahnya, mengaktifkan siswa, menyajikan kesempatan berkomunikasi
Skor 15
Merupakan jabaran dari metode pembelajaran, terdiri dari kegiatan pendahuluan, inti dan penutup beserta langkah-langkahnya, mengaktifkan siswa
Skor 10
Merupakan jabaran dari metode pembelajaran, terdiri dari kegiatan pendahuluan, inti dan penutup beserta langkah-langkahnya,
Skor 5
Merupakan jabaran dari metode pembelajaran
Skor 0
Tidak menyajikan langkah pembelajaran
Penyusunan Alat Penilaian
Skor 20
Alat penilaian disusun untuk mengukur ketercapaian tujuan, sesuai dengan indicator dan langkah pembelajaran, terdapat alat penilaian, disertai rambu-rambu jawaban dan rubri penilaian
Skor 15
Alat penilaian disusun untuk mengukur ketercapaian tujuan, sesuai dengan indicator dan langkah pembelajaran, terdapat alat penilaian,
Skor 10
Alat penilaian disusun untuk mengukur ketercapaian tujuan, sesuai dengan indicator dan langkah pembelajaran,
Skor 5
Alat penilaian disusun untuk mengukur ketercapaian tujuan
Skor 0
Tidak menyajikan alat penilain

F. Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan setelah didapatkan hasil penilaian atas RPP yang dibuat oleh guru. Hasil-hasil tersebut setelah ditabulasikan secara kuantitatif kemudian ditelaah, ditafsirkan berdasarkan pedoman yang telah dibuat. Pedoman yang dipergunakan dalam analisis data adalah sebagai berikut : Penelitian ini dianggap berhasil apabila 80% dari subjek penelitian mendapatkan nilai 80.







BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kagiatan Siklus Pertama
Perencanaan Tindakan
Kegiatan yang dilaksanakan dalam perencanaan meliputi :
Menentukan subjek penelitian
Subjek penelitian yang dipilih adalah guru kelas IV dari masing-masing sekolah dengan tujuan mendasari guru dalam hal penyusunan RPP yang sesuai dengan Standar Proses mengingat proses pelaksanaan Standar Isi (KTSP) yang secara bertahap dimulai dari kelas IV
Menyusun materi bimbingan beserta alat yang diperlukan
Materi bimbingan adalah pedoman penyusunan RPP sebagaimana yang termuat dalam lampiran Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007. Beberapa bagian diberikan penjabaran mengingat pada beberapa bagian tersebut terdapat perubahan-perubahan, seperti dalam materi ajar, dan penilaian.
Menentukan waktu pelaksanaan bimbingan
Waktu pelaksanaan bimbingan yang dipilih adalah minggu ketiga september yaitu tangal 18 September 2008, mengingat pada tanggal tersebut kegiatan mengisi hari efektif fakultatif masih berjalan dengan kegiatan agama, sehingga tidak mengganggu kegiatan para guru kelas
Menyusun format penilaian RPP
Format penilaian RPP disusun berdasarkan komponen yang terdapat Standar Proses. Beberapa bagian diberikan penjabaran guna menunjukkan urgensi komponen yang ada.
e. Menentukan kriteria keberhasilan tindakan
Penelitian tindakan ini dianggap berhasil bila 80% subjek penelitian mendapatkan nilai 80
f. Menentukan teknik analisis keberhasilan tindakan
Analisis keberhasilan ditentukan berdasarkan nilai yang diperoleh diklarifikasi dengan kriteria keberhasilan. Bila njilai perolehan lebih tinggi daripada kriteria maka guru yang bersangkutan dinyatakan berhasil dalam menyusun RPP sesuai dengan Standar Proses, dan bila hasilnya sebaliknya maka guru yang bersangkutan dinyatakan belum berhasil.
Pelaksanaan Tindakan
Pelaksanaan tindakan yang pertama dilaukan pada hari Kamis tanggal 18 September 2008, pada hari tersebut diundang para guru kelas IV untuk diberikan bimbingan dalam menyusun RPP. Dari tiga puluh enam sekolah hanya satu guru yang tidak hadir yakni dari SDN Pandanwangi II karena pada hari tersebut guru yang bersangkutan masih menyelesaikan tugas lain di sekolah, sehingga jumlah peserta yang hadir ada 35 guru.
Kegiatan saat pelaksanaan tindakan meliputi:
a. memberikan teks Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses beserta lampirannya untuk dibaca dan dipahami, khusunya pada pedoman penyusunan RPP
b. setelah beberapa saat guru memahami materi, diberikan kesempatan untuk bertanya kepada guru yang belum memahami teks Permendiknas yang telah dibaca, pada saat tersebut guru masih belum memberikan respons
c. setelah dinanti beberapa saat belum juga ada yang bertanya, diberikan penjelasan singkat tentang hal-hal yang krusial dari Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 khusunya dalam penyusunan RPP. Penjelasan difokuskan pada hal-hal yang berbeda dari RPP sesuai dengan Standar Proses dan Model SP, atau RP sebelum berlakunya Permendiknas 41 Tahun 2007. dijelaskan bahwa yang berbeda adalah dalam materi ajar, selama ini hanya dituliskan pokok-pokok materi saja, tetapi seharusnya disertakan juga uiraian materi
d. setelah guru dirasa sudah memahami konsep RPP sesuai Standar Proses, peneliti memberikan tugas kepada guru untuk menyusun RPP sesuai pemahaman terhadap Standar Proses. RPP yang akan dibuat mengambil salah satu KD untuk satu pertemuan, agar bisa diselesaikan pada hari itu, adapun mata pelajarannya dipilih yang paling dikuasai.
e. melakukan pendampingan terhadap guru yang sedang menyusun RPP sekaligus membimbingnya bila menemukan kesulitan, dan pada saat pendampingan ini ada beberapa pertanyaan yang muncul, yaitu bagaimana cara membagi waktu efektif untuk menentukan jumlah pertemuan. Dijelaskan bahwa jumlah pertemuan ditulis berdasarkan program semester yang sudah dibuat, jumlah tersebut merupakan rencana prakiraan waktu berdasarkan hari efektif dalam kalender, adapun pelaksanaannya tetap menyesuaikan pada situasi yang berlangsung.
f. Pertemuan yang dimulai ada pukul 07.45, diakhir pada pukul 11.00 mengingat bulan puasa. Pada saat itu sebagaian guru telah menegerjakan sebagian RPP ada juga yang hampir selesai, namun mengingat situasi yang panas diputuskan tugas dikumpulkan kembali tanggal 19 September 2008 di kantor UPTD Pendidikan Kecamatan Diwek
Observasi/Penilaian
Pada hari jumat, 19 September 2008 pukul 11.00 hampir seluruh guru sudah mengumpulkan RPP. Langkah berikutnya adalah pendataan nama-nama guru yang sudah mengumpulkan RPP, dan ternyata sejumlah 35 orang telah mengumpulkan RPP. RPP tersebut kemudian dinilai dengan rambu-rambu yang sudah ditetapkan dengan hasil sebagai berikut
TABEL 3
DATA NILAI HASIL TINDAKAN PERTAMA
No
Nama
Asal Sekolah/SDN
Nilai
1
Sunarmi
Bulurejo III
70
2
Tutik Riyoyoningsih
Kwaron I
80
3
Sutrisno
Jatirejo
60
4
Sugito
Bendet
75
5
Endang Pujiati
Keras II
80
6
Prihatininsih
Grogol I
80
7
Anik W
Dukuhpundong I
90
8
Ghozali
Puton I
90
9
Sri Banowati
Watugaluh
70
10
Sri Harnanik
Dwek II
80
11
Nur Aini
Diwek I
80
12
Titin Suhartilah
Cukir II
75
13
Sri Wahyuni
Balongbesuk II
65
14
Suwarni
Jatipelem I
80
15
Endah Admajaningrum
Brambang
90
16
Suharniati
Bandung I
75
17
Kasmi
Dukuhpundong II
75
18
Endang Koesmiati
Ceweng I
75
19
Hamidah
Kayangan II
60
20
Fatimah
Kwaron II
70
21
Hastin Nadhifah
Ngudirejo I
65
22
Ita Wijiatutik
Grogol II
75
23
Novi Trisnawati
Pandanwangi I
90
24
Aryanti KW
Puton II
75
25
Siti Munifah
Jatipelem II
70
26
Titik Marlina
Bulurejo I
75
27
Kartika Tri W
Kedawong
70
28
Niswati Aliyah
Cukir I
95
29
Adi Cahyono
Keras I
75
30
Erma Rochimah
Ngudirejo II
70
31
Sukartin
Bulurejo II
65
32
Yulina
Balingbesuk I
60
33
Yatemi
Bandung II
70
34
Nur Cahayatin
Ceweng II
80
35
Bambang Suharto
Kayangan I
60
36
Eni Indarti
SDN Pandanwangi II
Tidak hadir

Jumlah nilai



Rata Rata



Refleksi
Berdasarkan hasil penilaian atas RPP yang dihasilkan guru kelas IV Sekolah Dasar di Kecamatan Diwek, dapat ditabulasikan analisisnya sebagai berikut:













GAMBAR 4
ANALISIS KEBERHASILAN TINDAKAN
Dari hasil tindakan pertama sebagaimana dalam analisis keberhasilan di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan belum membawa hasil secara maksimal. Jumlah guru yang sudah mampu menyusun RPP sesuai dengan Standar Proses berjumlah 12 orang, yang berarti hanya 34,26%, dari 80% yang menjadi persyaratan keberhasilan tindakan.
Sesuai dengan hasil tindakan pertama dapat direfleksikan sebagai beirkut:
1. kebanyakan guru menganggap sudah mampu menyusun RPP seperti yang selama ini telah dilakukan
2. pembinaan dianggap hanyalah kegiatan formalitas yang tidak ada tindaklanjutnya, sehingga ketika menyusun RPP selesai dianggap selesai tanpa kelanjutan pembinaan
3. pembimbing menilai jawaban sudah mengerti dari para guru ketika dibimbing dan ditanya menunjukkan pemahaman yang maksimal, sehingga tidak menaruh ketidakpercayaan sama sekali, apakah jawaban tersebut disadari atau karena lelah saja
4. bahwa hasil kerja guru dengan usia di bawah 45 tahun lebih baik daripada guru yang berumur lebih dari 45 tahun, lebih utama lagi guru dengan kualifikasi D2 atau S1 PGSD maupun yang tengah berproses dalam menyelesaikan studynya.
5. pada tindakan kedua supaya diteliti satu per satu selama proses penyusunan, serta disajikan kelemahan umum yang dialami para guru.
Berdasarkan hasil tersebut, maka proses pemberian tindakan masih harus dilanjutkan dengan Siklus yang kedua.

B. Pembahasan Hasil Tindakan Pertama
Melihat hasil tindakan pertama sebagaimana telah disajikan analisisnya ternyata pelaksanaan tindakan pertama belum mendapatkan hasil sesuai harapan. Namun demikian, bila dilihat dari kondisi awal sebelum diadakan tindakan sekurang-kurangnya sudah ada perkembangan pemahaman lebih dari 50 %. Pada data awal sebelum diberikan tindakan secara umum dijumpai hal-hal sebagai berikut:
menyusun RPP hanya sebatas memenuhi tanggungjwab adanya persiapan mengajar, beberapa guru mengumpulkan RPP hasil foto copy dari penerbit buku, yaitu RPP yang disesuaikan dengan buku yang dijual
pada indikator banyak yang masih mengutip indikator pada kurikulum 2004, yang berarti belum berusaha mengembangkan indikator sesuai denganKTSP
materi ajar tidak dijabarkan sama sekali, sehingga tidak diketahui sejauh mana pengembangan materi sesuai dengan indikator, banyak juga yang dalam menuliskan materi ajar tidak didasarkan pada tujuan maupun indikator, tetapi mengacu pada buku ajar yang dipakai
langkah pembelajaran belum sesuai dengan metode yang sudah dicantumkan, selain itu banyak yang mengawali kegiatan inti dengan menjelaskan, sehingga tidak memberikan kesempatan anak untuk aktif mencari, menemukan, dan mengkonstruk pengetahuan yang diterima.
pada unsur penilaian jarang sekali yang mencantumkan rubrik dan rambu-rambu jawaban, bahkan ada yang hanya mencantumkan bentuk penilaian tanpa disertai alat penilaian
pencantuman sumber belajar juga belum terinci
outline masih belum mengacu standar sama sekali
Sementara itu, pada hasil tindakan pertama menunjukkan perubahan-perubahan yang mendasar.perubahan tersebut antara lain pada poin-poin:
outline sudah sesuai dengan standar proses
RPP yang dibuat sudah banyak menunjukkan kesungguhan, dan tidak sekedar formalitas
indikator sudah dibuat sendiri, meskipun kata yang dipergunakan belum operasional
sebagian telah mencantumkan materi ajar dengan penjabarannya sebagian lagi belum mencantumkan
pada langkah pembelajaran sebagain besar telah berupaya mengaktifkan siswa, walaupun pilihan kalimat dan penataan bahasa tidak
pada unsur penilaian sebagian mencantumkan soal, tetapi rubrik dan rambu-rambu jawaban masih ada yang tidak mencantumkan
sebagian guru sudah mencantumkan sumber belajar

C. Kegiatan Siklus Kedua
Perencanaan Tindakan
Perencanaan tindakan pada siklus kedua meliputi
menghubungi guru untuk hadir pada hari Senin tanggal 22 September 2008
memberikan catatan pada RPP yang telah dibuat guru tentang kelemahan-kelemahan yang ditemukan
menyusun materi pembinaan sesuai dengan kelemahan yang dijumpai
selama proses penyusunan RPP dilakukan pemantauan dan pembinaan terhadap setiap guru
Pelaksanaan Tindakan
Berdasarkan atas perencanaan tindakan yang disusun dilaksanakan tindakan sebagai berikut:
menyampaikan kelemahan umum pada penyusunan RPP
menyampaikan guru-guru yang sudah mendekati benar dalam menyusun RPP
menyampaikan konsep RPP yang benar sesuai dengan standar proses berdasarkan kelemahan yang ada
menanyakan apakah yang disampaikan pembimbing telah dipahami, para guru masih diam beberapa saat, ketika ditanyakan lagi, mereka menjawab bahwa nanti sambil berjalan akan bertanya, mohon dilihat satu persatu
menugaskan kepada guru untuk menyusun kembali RPP, baik berupa revisi atau RPP baru dengan materi yang benar-benar telah dipahami
melihat proses kerja guru satu per satu
mempersilakan bertanya baik kepada pembimbing mapun kepada teman yang sudah bisa (mendekati benar), dan membacakan nama-nama guru yang sudah memapu menyusun RPP lebih baik.
Observasi
Observasi dilakukan setelah semua RPP terkumpul. RPP pun tidak bisa diselesaikan dalam satu hari, sehingga sepakat dikumpulkan tanggal 23 September 2008 di kantor UPTD Pendidikan Kecamatan Diwek. Setelah diadakan penilaian didapat hasil nilai tindakan kedua sebagai berikut:
TABEL 4
DATA NILAI HASIL TINDAKAN KEDUA

No
Nama
Asal Sekolah/SDN
Nilai
1
Sunarmi
Bulurejo III
90
2
Tutik Riyoyoningsih
Kwaron I
90
3
Sutrisno
Jatirejo
75
4
Sugito
Bendet
80
5
Endang Pujiati
Keras II
90
6
Prihatininsih
Grogol I
90
7
Anik W
Dukuhpundong I
95
8
Ghozali
Puton I
- TIDAK HADIR
9
Sri Banowati
Watugaluh
80
10
Sri Harnanik
Dwek II
85
11
Nur Aini
Diwek I
85
12
Titin Suhartilah
Cukir II
80
13
Sri Wahyuni
Balongbesuk II
85
14
Suwarni
Jatipelem I
-TIDAK HDIR
15
Endah Admajaningrum
Brambang
90
16
Suharniati
Bandung I
90
17
Kasmi
Dukuhpundong II
80
18
Endang Koesmiati
Ceweng I
85
19
Hamidah
Kayangan II
80
20
Fatimah
Kwaron II
80
21
Hastin Nadhifah
Ngudirejo I
80
22
Ita Wijiatutik
Grogol II
80
23
Novi Trisnawati
Pandanwangi I
95
24
Aryanti KW
Puton II
90
25
Siti Munifah
Jatipelem II
-TIDAK HADIR
26
Titik Marlina
Bulurejo I
85
27
Kartika Tri W
Kedawong
-TIDAK HADIR
28
Niswati Aliyah
Cukir I
95
29
Adi Cahyono
Keras I
-TIDAK HADIR
30
Erma Rochimah
Ngudirejo II
80
31
Sukartin
Bulurejo II
75
32
Yulina
Balongbesuk I
80
33
Yatemi
Bandung II
85
34
Nur Cahayatin
Ceweng II
85
35
Bambang Suharto
Kayangan I
-TIDAK HADIR
36
Eni Indarti
SDN Pandanwangi II
-TIDAK HADIR

Refleksi
Hasil penilaian penyusunan RPP guru kelas IV pada tindakan kedua dapat disajikan analisis sebagai berikut:

GAMBAR 5

ANALISIS KEBERHASILAN SIKLUS II

Berdasarkan hasil tindakan kedua, angka-angka nilai yang diperoleh menunjukkan adanya peningkatan yang cukup besar. Tercatat guru yang mampu menyusun RPP sesuai dengan Standar Proses adalah adalah 27 orang atau 93,10% Bila keberhasilan yang mencapai 93,10% tersebut dirujuk pada kriteria keberhasilan (80% guru mampu menyusun RPP sesuai Standar Proses dan mendapatkan nilai minimal 80), maka penelitian tindakan ini dinyatakan sudah berhasil.
Meskipun penelitian tindakan sudah dinyatakan berhasil, perlu diberikan refleksi atas hasil tindakan yang kedua sebagai berikut:
1. pembimbing tidak boleh menganggap benar jawaban yang diberikan peserta ketika dimbimbing seperti yang dilakukan pada tondakan pertama, buktinya para guru menjawab sudah mampu ternyata masih banyak yang belum menyusun sesuai standar proses
2. perlunya pengamatan terhadap guru satau per satu ketika melakukan pnyusunan RPP sehingga hasilnya dipastikan benar-benar valid
3. penjelasan secara detail perlu diberikan agar persepsi yang diterima guru benar-benar sama dengan persepsi pembimbing

D. Pembahasan Hasil
Sesuai dengan hasil tindakan kedua, dinyatakan bahwa proses bimbingan yang diberikan kepada guru kelas IV di Kecamatan Diwek sudah berhasil. Enam orang yang belum hadir pada dasarnya karena waktu untuk komunikasi yang terbatas. Pembimbing, dalam hal ini pelaku penelitian tidak mungkin lagi membuat surat undangan secara dinas, karena pengumpulan terakhir hari Jumat, selesai dinilai hari Sabtu, sementara pada hari Sabtu kantor sudah libur, sehingga undangan disampaikan melalui SMS (Short Message Servise). Oleh karena itu kehadiran guru menjadi tidak maksimal.
Keberhasilan yang meningkat secara drastis disebabkan oleh kesungguhan pembimbing dalam memberikan catatan atas kelemahan penyusunan RPP pada tindakan pertama. Adanya catatan tersebut menunjukkan keseriusan kegiatan yang diadakan, tidak formalitas, sehingga para guru benar-benar ingin menunjukkan kemampuannya menyusun RPP. Para guru mungkin merasa malu bila dikatakan tidak mampu menyusun RPP sesuai standar. Apalagi pada pembinaan kedua juga ditunjukkan peserta yang sudah menyusun RPP dengan baik dan dapat dijadikan mitra diskusi.
Atas dasar hasil pelaksanaan tindakan dapat direkomendasikan agar kegiatan yang diberikan kepada guru benar-benar dilakukan secara serius disertai kesungguhan. Kesungguhan sebuah tindakan akan menghasilkan kesungguhan respon, keseriusan kegiatan juga membuahkan keseriusan hasil. Tidak ada guru yang tidak bisa dibina kecuali pembina yang kurang bisa membina dengan baik.
















BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Berdasarkan pelaksanan tindakan yang telah dilakukan dapat diambil simpulan sebagai berikut:
Metode bimbingan kelompok benar-benar dapat meningkatkan kemampuan guru kelas IV SDN di Kecamatan Diwek dalam menyusun RPP sesuai dengn Standar Proses. Pada tindakan pertama 12 orang dari 35 guru telah mampu menyusun RPP sesuai dengan Standar Proses, setelah berlanjut pada siklus kedua, 27 orang dari 29 orang mengikuti bimbingan pada tindakan kedua. sudah mampu menyusun RPP sesuai standar proses. Kedua hasil tersebut bila diberikan prosentase pada tindakan pertama mencapai hasil 34,12 % sedangkan setelah tindakan kedua mencapai hasil 93,10%. Dengan dua siklus ini telah dianggap memenuhi kriteria keberhasilan tindakan
Proses pelaksanaan bimbingan kelompok yang ditempuh adalah mengumpulkan semua guru kelas IV Sekolah dasar yang ada di Kecamatan Diwek, memberikan informasi tentang RPP sesuai dengan standar proses, memberikan kesempatan guru untuk memahami pedoman penyusunan RPP, memberikan kesempatan untuk bertanya, memberikan tugas menyusun RPP sesuai dengan petunjuk, melakukan bimbingan kepada setiap guru sewaktu menyusun RPP, menjelaskan kembali substansi RPP kepada semua guru bila ada guru yang minta penjelasan, memberikan penguatan tentang penyusunan RPP sesuai dengan Standar Proses.
Selama proses pembimbingan harus benar-benar diamati dan dibantu secara proporsional persuasif agar proses benar-benar berjalan efektif, mengingat pada pembelajaran orang dewasa kadang terjadi perbedaan persepsi antara pembimbing dengan yang dibimbing, mau diamati secara ketat khawatir timbul perasaan underestimate dari para guru, tetapi bila diberikan terlalu longgar khawatir tidak dipahami.
Diperlukan kesabaran, ketelatenan, ketetilitian dan kehatihatian dalam rangka memberikan bimbingan terhadap orang dewasa agar tujuan dapat dicapai tanpa harus mencul perasaan direndahkan dari para guru.

B. Saran
Agar pelaksanaan blockgrant PTS benar-benar berjalan secara maksimal dengan hasil yang optimal dapat disarankan hal-hal sebagai berikut:
Agar dipilih waktu yang longgar, tidak pada bulan romadhon agar peneliti memiliki waktu yang cukup untuk melaksanakan tindakan
Agar biaya yang diberikan dapat ditingkatkan serta direalisasio sesuai jadwal
Agar diadakah pelatihan tersendiri untuk pelaskanaan PTS mengingat konsep tersebut relatif baru bagi para pengawas, apalagi pengawas dituntut memiliki kompetensi penelitian dan pengembangan





DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 1998. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Yogyakarta Rineka Cipta

Depdiknas. 1995. Pedoman Pelaksanaan Supervisi. Jakarta : Dirjendikdasamen

----------, 2008. Pedoman Sertfifikasi dalam Jabatan Penyusunan Portofolio. Jakarta : Dierjendikti

Lestari, Tita. 2000. Merencanakan dan Melaksanakan Penelitian Tindakan Sekolah. (makalah pembekalan tidak ditebitkan)

Moeleong, Lexy J. 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya

Nurali. 2008. Pedoman Pengawasan Sekolah. Jombang (Makalah Tidak diterbitkan)

Peratuarn Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi. Dirjendikdasmen

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses. Dirjendikdasmen

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tetang Sandar Nasional Pendidikan.

Rachman, Saiful, dkk. 2006. Penelitian Tindakan Kelas dan Penulisan Karya Ilmiah. Surabaya : SIC & Dinas P dan K Prop Jatim

Suhardjono. 2008. Laporan Penelitian Tindakan Sekolah Sebagai Karya Tulis Ilmiah dalam Kegiatan Pengembangan Profesi Pengawas Sekolah. Jakarta Dirjen PMPTK

Wardani. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : Penerbit UT

Tim FKIP. 2007. Pemantapan Kemampuan Profesional. Jakarta: Penerbit UT

Uno, Hamzah B. 2007. Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Bandung : Bumi Aksara.